Petrus “Piche” Kota: Nyanyian Harapan di Tengah Pusaran Kritik

Petrus "Piche" Kota: Nyanyian Harapan di Tengah Pusaran Kritik

JEJAK KATA, Suluhdesa.com – Menjadi idola bukan hanya soal juara, tetapi tentang bagaimana suara dan keberanian menginspirasi banyak orang. Piche telah membuktikan bahwa mimpi bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tengah kritik yang berhembus.

Oleh: Giorgio Babo Moggi

Saya masih ingat masa ketika Delon menjadi ikon baru anak muda. Nama itu bukan sekadar identitas, tetapi gelombang yang menyapu seantero negeri.

“Delon, Delon, Delon!”—teriakan seorang gadis di Pelabuhan Tenau mengembalikan memori itu.

Saya sempat terkejut, berpikir benarkah Delon ada di sini? Namun, saat kutoleh, sosok yang dipanggil Delon itu bukanlah dia, melainkan seseorang yang ingin dikenal seperti sang idola.

Fenomena semacam ini bukan hal baru. Seorang idola lahir bukan hanya dari kemenangan di atas panggung, tetapi dari bagaimana ia mampu menciptakan jejak di hati banyak orang. Seperti Delon, muncul sosok-sosok baru yang membawa harapan bagi generasi muda NTT. Marion Jola, Andmesh Kamaleng, Mario Klau, Aldo Longa—nama-nama yang kini menjadi bukti bahwa impian bisa menembus batas.

Kini, panggung yang sama menyaksikan perjalanan seorang anak muda dari NTT—Petrus Kota, atau yang lebih akrab disapa Piche. Kehadirannya di Indonesian Idol memantik semangat baru, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi mereka yang bermimpi berdiri di tempat yang sama. Piche bukan sekadar kontestan; ia adalah representasi dari anak-anak NTT yang selama ini hanya bernyanyi di sudut rumah, di pesta-pesta kecil, atau dalam lingkaran keluarga. Kini, mereka melihat bahwa jalan itu nyata.

Namun, di balik sorotan lampu dan dukungan yang mengalir, kritik pun berhembus deras. Ada yang menilai Piche terlalu bermain aman, memilih lagu-lagu yang tidak menantang, atau bahkan memiliki warna vokal yang dianggap biasa saja bagi telinga orang NTT. Ironi muncul ketika kritik itu justru datang dari tempat yang seharusnya menjadi pendukung terbesarnya—rumah sendiri.

Tapi, mari kita bertanya: apakah seorang penyanyi harus menguasai semua genre untuk bisa diakui? Bukankah musik juga soal identitas, tentang menemukan warna yang paling sesuai dengan jiwa? Piche bukan sekadar bernyanyi, ia sedang menyusun langkahnya, meniti jalan dengan caranya sendiri. Bermain aman bukan berarti tanpa strategi, justru itu bagian dari memahami industri, dari menyesuaikan ritme dengan gelombang yang sedang ia arungi.

Menjadi idol bukan soal gelar juara. Bahkan sebelum babak final tiba, seseorang yang berdiri di atas panggung spektakuler telah menjadi bintang bagi mereka yang mengaguminya. Di balik layar voting yang terus berjalan, ada hati-hati yang memilihnya, ada tangan-tangan yang rela meluangkan waktu untuk mendukungnya. Dan bukankah itu yang terpenting? Bahwa dalam perjalanan ini, ia telah menjadi inspirasi?

Lebih jauh, menjadi idola bukan hanya soal juara, tetapi tentang bagaimana suara dan keberanian menginspirasi banyak orang. Piche telah membuktikan bahwa mimpi bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tengah kritik yang berhembus.

Maka, jika nanti Piche melangkah lebih jauh, apakah kita akan terus menghujaninya dengan kritik? Atau seharusnya kita merayakan keberanian seorang anak muda yang berani bermimpi dan berjuang? Ada banyak suara emas di luar sana, tetapi tidak semua memiliki keberanian yang sama untuk melangkah. Keberanian itulah yang membedakan Piche dari mereka yang hanya berani bermimpi tanpa mencoba.

Pada waktunya, ia akan keluar dari zona nyamannya. Pada masanya, ia akan menemukan warna yang lebih luas. Tetapi hari ini, mari kita beri ruang bagi ia untuk bertumbuh, untuk belajar, untuk terus bernyanyi. Sebab, musik bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana ia menyentuh hati. Dan Piche telah melakukannya dengan caranya sendiri. (gbm)

Pos terkait