Suluhdesa.com – Musik bukan sekadar bunyi. Ia adalah denyut kehidupan, getar batin, dan doa yang melintasi zaman. Di tangan para maestro dunia seperti Mozart, Bach, dan Beethoven, musik menjelma menjadi keabadian. Namun, keabadian tak hanya lahir di panggung megah Eropa. Ia juga tumbuh diam-diam di tanah yang jauh dari sorotan — di kampung kecil bernama Ndangakapa, Flores.
Dari tempat sederhana ini, Sirilus Wali menulis sejarahnya sendiri. Ia bukan bintang layar kaca atau penghuni gedung konser termasyhur. Tapi bagi ribuan umat Katolik di Nusa Tenggara Timur, namanya hadir dalam lagu-lagu misa, mars, dan pujian yang mereka nyanyikan dalam ibadah. Dalam kesunyian, ia menciptakan gema. Dalam kesederhanaan, ia menanam keindahan.
Tulisan ini adalah perjalanan — dari akar rumput ke altar, dari bunyi bambu ke harmoni liturgi. Inilah kisah tentang musik, iman, dan ketulusan yang tak pernah padam.
Dari Ndangakapa Menuju Nada-Nada Surgawi
Di dunia musik, nama-nama seperti Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven, dan Johann Sebastian Bach telah menorehkan sejarah dalam lembaran abadi peradaban. Karya-karya mereka bukan hanya sekadar lagu, tetapi semacam doa yang digubah menjadi harmoni. Musik mereka hidup, menembus ruang dan waktu, menari di udara sejak berabad-abad lalu hingga kini.
Namun dunia tidak hanya diwarnai oleh para maestro dari barat. Ada pula kisah dari tanah timur — dari pulau-pulau kecil yang dijaga laut biru dan angin kering sabana. Dari sanalah, di sebuah kampung kecil bernama Ndangakapa di lereng hijau Desa Tenda Ondo, Ende, seorang anak lelaki dilahirkan — bukan untuk menjadi Mozart, bukan pula untuk menyamai keagungan Bach. Tapi dunia mencatatnya dengan cara lain.
Namanya Sirilus Wali.
Ia bukan tokoh yang kau temukan di buku sejarah musik dunia. Ia tidak tampil dalam konser-konser megah di Vienna atau Berlin. Namun, bagi banyak jemaat gereja di Nusa Tenggara Timur — bahkan di panggung nasional musik liturgi Indonesia — nama Sirilus Wali hidup dan bersinar seperti lilin kecil yang tak pernah padam, memantulkan cahaya pada ribuan suara umat yang menyanyikan lagunya.
Sirilus bukan datang dari kota besar. Ia tumbuh dari akar rumput. Dari tanah yang keras dan musim yang kering. Dari rumah kayu dengan atap rumbia yang kadang bocor saat hujan deras. Dari suara alam yang menjadi orkestra pertamanya: desir angin, cicit burung, dan denting bambu yang dipukul anak-anak saat bermain.
Ia lahir dari keluarga sederhana, tapi tidak biasa. Musik bukan hobi di rumah mereka — ia adalah udara. Ayahnya, pemimpin sebuah band kampung, menyimpan alat-alat musik di rumah mereka. Sejak kecil, Sirilus sudah akrab dengan ukulele dan gitar. Tangannya terlatih kidal bukan karena itu pilihan, tetapi karena itu panggilan.
“Saya menyanyi sebelum bisa membaca,” ujarnya suatu malam dalam percakapan via WhatsApp, sebuah wawancara yang panjang dan tenang — seperti alunan lagu pujian di malam sunyi.
Di usia belia, kelas lima SD, ia sudah menjadi pemain bass dalam band orang dewasa. Konser pertamanya? Bukan di gedung pertunjukan — tetapi di pesta pernikahan sederhana di Nangaroro. Ia tampil bukan karena diundang, tetapi karena dibutuhkan. Musik mengalir di nadi kecilnya dan menemukan jalannya sendiri.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SDK Malasera dan SMPN Nangaroro, Sirilus melanjutkan ke SPGK Frateran Ndao Ende. Di sinilah, dunia musik yang sebelumnya liar dan liar di alam, mulai menemukan notasi dan harmoni yang lebih rapi. Ia bertemu para Frater — pendidik yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menjadi pembuka jalan suara.
Di asrama Ndao, ia mengenal paduan suara, grup vokal, terompet, dan teknik dasar aransemen. Frater Albert dan Frater Sarto adalah dua sosok yang sangat berpengaruh. Mereka tidak hanya mengenalkan musik secara teknis, tetapi juga menunjukkan bagaimana musik bisa menjadi ibadah, bukan hanya hiburan.
“Frater Sarto mengajari saya bagaimana menempatkan posisi SATB dalam paduan suara. Frater Albert mengajari saya aransemen dan vokal group. Dari mereka, saya belajar musik bukan sekadar bunyi — tetapi pesan.”
Setelah lulus, Sirilus kembali ke almamaternya di Malasera, menjadi guru, menjadi pelayan. Tapi hatinya belum tenang. Ia tahu, jalan hidupnya belum tuntas. Maka, ia pun hijrah ke Kupang, membawa semangat yang sama dengan para perantau dari kampung-kampung timur: mencari cahaya pengetahuan di tengah kota yang lebih terang.
Ia mendaftar di Program Studi Sendratasik FKIP Universitas Katolik Widya Mandira. Di sinilah, Sirilus tak lagi hanya menjadi penyanyi kampung. Ia diasah, dibentuk, ditempa, dan ditantang menjadi komponis.
Di kampus, ia bertemu nama-nama besar: Petrus Riki Tukan, Pater Dan Kiti SVD, dan Pater Anton Sigoama. Di tangan mereka, musik bukan lagi permainan nada, melainkan alat pewartaan iman. Dari mereka pula, Sirilus memahami bahwa musik inkulturasi adalah jawaban atas kerinduan umat Katolik di tanah Nusa Tenggara Timur — musik yang tidak mengabaikan akar budaya, tapi justru merangkulnya dalam harmoni liturgis.
Tak heran, karya-karya Sirilus kemudian lebih banyak berbentuk lagu misa, lagu-lagu pujian, mars dan himne berbagai lembaga Katolik. Ia lebih banyak menggubah lagu yang membawa umat dalam keheningan dan syukur — bukan ke riuh hiburan semata.
Namun, bukan berarti ia asing dengan musik pop. Ia tetap mengagumi The Beatles dan Koes Plus, Black Sweet dan Black Brothers. Ia tak membatasi diri. Sebab bagi Sirilus, musik adalah bahasa semesta — semua bisa mengungkapkan cinta, luka, harapan, dan doa, jika diolah dengan hati yang jujur.
Lagu Pertama, Doa Pertama
Setiap musisi besar punya kisah tentang karyanya yang pertama — bukan hanya sebagai jejak awal, tapi sebagai bukti bahwa suara dalam diri mereka tak bisa lagi ditahan. Bagi Sirilus Wali, lagu pertama lahir bukan dari ruang studio atau pentas megah. Lagu pertamanya lahir di malam yang sederhana, dalam keremangan cahaya asrama, ditemani sahabat-sahabat sekolah yang mungkin tak pernah menyangka bahwa mereka sedang mencatat sejarah kecil.
Judulnya: “Bus Kawan Mulia.”
Lagu ini bukan lagu cinta biasa, bukan pula tentang kisah romansa yang menggetarkan hati. Lagu ini lahir dari kerinduan akan persahabatan, tentang surat-menyurat antar sekolah — bentuk komunikasi yang sangat hidup di masa itu. Ada kehangatan dalam kesederhanaannya, ada kemurnian dalam tiap baitnya.
“Di keremangan malam, bersama kawan-kawan asrama, saat jam istirahat malam. Kami ciptakan lagu ini,” kenangnya. Seolah suara malam ikut menjadi saksi bisu dari sebuah kelahiran: bukan hanya lagu, tapi awal dari perjalanan panjang seorang komponis.
Namun, ada satu lagu lain yang lebih membekas, lebih dalam, dan terus terngiang sampai puluhan tahun kemudian: “Ine Maria.”
Lagu ini ia ciptakan ketika ia masih guru muda di SDK Malasera, tahun 1987. Lagu sederhana, bertema religius, tetapi sangat kuat resonansinya. Sirilus tak pernah menyangka bahwa puluhan tahun kemudian — tepatnya pada tahun 2020 — ketika ia kembali ke Ndangakapa untuk menghadiri doa bersama, lagu itu masih dinyanyikan. Dinyanyikan bukan oleh musisi profesional, tapi oleh anak-anak kampung dan umat stasi. Lagu itu masih hidup. Lagu itu masih diingat.
Dan Sirilus? Ia justru nyaris lupa.
“Saya kaget dan terkejut. Saya hampir lupa lagu ini. Tapi mereka menyanyikannya dengan sangat fasih. Waktu seperti berhenti sejenak saat saya mendengarnya lagi,” kisahnya sambil menatap kosong layar ponselnya. Mungkin air mata sempat mengambang di sudut matanya, mengenang bagaimana benih yang ia tanam dulu, kini tumbuh menjadi pohon yang berbunga di hati umat.
Ine Maria
(Lagu ciptaan Sirilus Wali, 1987)
Ine Maria, Ine kita
Ine kita ndia dunia
Tau pela zada kita
Mo’o muzi pawe zia
O… Ine Maria
Reff:
Ine Maria simo pata
Mai nggae dewa ema
Mo’o jadi Ine Yesus
Ine Penebus Tuhan kita
Malaikat Gabriel sodho kaba
Sodho kaba mai ndewa ema
Yesus mai ndia dunia dheko Ine Maria
O… Ine Maria…
Bagi Sirilus, musik bukan hanya alat ungkap. Musik adalah doa itu sendiri. Ia sangat percaya dengan pepatah Latin kuno: “Qui bene cantat bis orat” — Barangsiapa bernyanyi dengan baik, ia telah berdoa dua kali.
Itulah sebabnya, ia menjadikan musik sebagai bentuk devosi, bukan semata seni. Ia tak ingin berhenti pada kemegahan suara atau kerumitan harmoni. Baginya, substansi jauh lebih penting dari pertunjukan.
“Musik itu kebutuhan. Ia menghidupkan semua makhluk hidup. Musik bisa membuat kita tumbuh, membuat kita menangis, bersedih, bahkan menari dan sembuh. Musik bisa mengangkat batin kita menuju Tuhan.”
Ada filsafat yang mendalam dalam pandangannya. Musik, katanya, lebih dari seni lain karena ia tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan. Musik adalah roh dalam bunyi, dan karena itu ia suci. Maka Sirilus mengingatkan: “Bermusiklah yang suci, agar engkau diberkati Tuhan.”
Sebagai pribadi spiritual, Sirilus tak hanya mengandalkan bakat. Ia memperkaya jiwanya dengan buku-buku rohani, kisah para orang kudus, dan permenungan dari Kitab Suci. Baginya, musik liturgi adalah perpanjangan dari firman Tuhan. Ia bahkan percaya, satu-satunya organisasi yang Tuhan bentuk di surga adalah paduan suara — Serafim, kumpulan malaikat dan orang-orang kudus yang bernyanyi memuliakan Tuhan, siang dan malam.
Ketika ditanya berapa banyak lagu yang sudah ia ciptakan, Sirilus tak pernah memberi angka pasti. Ia bukan tipe seniman yang menghitung karya. Tapi jika harus menyebut, untuk lagu-lagu mars dan himne saja, jumlahnya sudah lebih dari 38 lagu — tersebar di berbagai lembaga Katolik di NTT. Lagu misa dan lagu liturgi? Mungkin jauh lebih banyak lagi. Tapi bukan itu yang penting baginya.
“Bukan soal kuantitas, tetapi kualitas. Syair, melodi, dan harmoni harus menyatu. Dan untuk lagu misa, kita harus setia pada Kitab Suci dan struktur liturgi,” ujarnya tegas.
Saat ini, Sirilus masih terus berkarya. Ia sedang menyelesaikan proyek Mars dan Himne untuk SMPK St. Yosep Naikoten dan SMPK Adisucipto. Setiap nada, setiap bait syair, ditulis bukan dengan tergesa, tetapi dengan hati. Ia tahu: lagu-lagu ini akan dinyanyikan banyak anak, dalam upacara, dalam misa, dalam momen-momen penting hidup mereka. Maka, tidak ada ruang untuk asal-asalan.
Kisah hidup Sirilus Wali bukan sekadar memoar tentang musik. Ia adalah kisah tentang kesetiaan pada panggilan. Tentang seorang anak kampung yang dengan semangat, kepekaan, dan ketekunan, menjadikan musik bukan hanya alat hiburan — tapi bahasa iman, cinta dan perjuangan.
Ia adalah bukti bahwa kita tak perlu lahir di kota besar untuk memiliki suara. Cukup membuka telinga dan hati, dan mendengar suara panggilan di dalam diri.
Ia adalah bukti bahwa seorang anak desa, dengan latar sederhana dan alat musik seadanya, bisa menulis lagu yang dinyanyikan ribuan umat dalam keheningan misa atau kemeriahan paduan suara.
Dan ia juga adalah pengingat, bahwa seni bukan untuk kemegahan pribadi. Tapi untuk melayani. Untuk mengangkat. Untuk menghidupkan kembali jiwa-jiwa yang letih.
Guru yang Mengajar dengan Nada
Ada banyak cara untuk menjadi guru. Beberapa orang mengajar lewat angka dan rumus. Beberapa mengajar lewat cerita. Tapi bagi Sirilus Wali, mengajar adalah soal menanam suara ke dalam jiwa — suara yang tidak hanya terdengar, tapi juga hidup dan tumbuh bersama waktu.
Ia bukan guru yang hanya berdiri di depan kelas dengan buku dan kapur. Ia adalah guru yang membawa gitar ke ruang kelas. Guru yang mengajak anak-anak menyanyi sebelum pelajaran dimulai. Guru yang percaya bahwa sebelum mereka mengerti logika, anak-anak harus terlebih dahulu mendengar irama kehidupan.
Itu sebabnya, setelah menempuh pendidikan di Program Studi Sendratasik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Sirilus tidak memilih panggung besar sebagai tujuan akhirnya. Ia kembali ke ruang-ruang kelas, ke sekolah-sekolah Katolik, ke anak-anak yang matanya berbinar saat mendengar irama.
Ia mengajar di SMAK Giovani Kupang. Tapi ia tidak hanya mengajar mata pelajaran. Ia menghidupkan lingkungan. Ia membangun komunitas paduan suara. Ia menciptakan lagu-lagu untuk sekolah. Ia memoles bakat-bakat muda agar berani bersuara — karena ia tahu, banyak di antara mereka, seperti dirinya dulu, hanya menunggu seseorang menyalakan lilin pertama di dalam gelap.
Di mata murid-muridnya, ia bukan hanya guru musik. Ia adalah penata hidup dengan melodi.
Lahir dan besar di tanah Flores yang kaya budaya, Sirilus sadar betul bahwa musik gereja tidak boleh hanya berhenti pada organ dan notasi barat. Ada suara-suara lain yang berhak didengar dalam liturgi — suara gong dan gendang, sasando dan suling bambu, kidung dalam bahasa daerah dan lagu pujian yang lahir dari budaya lokal.
Itulah sebabnya, Sirilus mendalami musik inkulturasi gereja.Baginya, musik liturgi yang hanya meminjam model barat bisa kehilangan daya hidup ketika dibawa ke kampung-kampung. Tapi jika umat menyanyi dalam bahasa ibu mereka — dalam ritme yang mereka kenal sejak kecil — maka misa menjadi lebih dari sekadar kewajiban. Misa menjadi rumah. Dan pujian menjadi doa yang keluar dari tubuh dan jiwa mereka sendiri.
Ia belajar langsung dari para tokoh musik inkulturasi: Petrus Riki Tukan, Pater Daniel Kiti SVD, Pater Anton Sigoama SVD, dan Pater Petrus Wani SVD. Ia tidak hanya menyerap teknik mereka, tetapi juga semangat mereka: menciptakan musik yang inklusif, merangkul, dan menyembuhkan.
Karena itu, dalam banyak karya Sirilus, kita akan menemukan perpaduan yang unik: antara teks Kitab Suci, harmoni Barat, dan jiwa Timur. Antara liturgi universal dan ritus lokal. Ia membangun jembatan antara altar dan adat, antara Roma dan kampung halaman.
Mencipta lagu — bagi sebagian orang — mungkin hanya soal inspirasi. Tapi bagi Sirilus, mencipta lagu adalah soal tanggung jawab spiritual. Terutama jika itu lagu misa. Ia sangat sadar, musik liturgi bukan pertunjukan. Ia harus taat pada struktur, tunduk pada isi Kitab Suci, dan tetap mengalirkan rasa hormat.
Ia menyebut bahwa menciptakan lagu misa dan lagu pop adalah dua dunia yang berbeda. Lagu pop butuh cerita: cinta, alam, kehilangan, harapan. Tapi lagu misa butuh keheningan yang dalam — karena kata-katanya adalah firman, dan melodinya harus menjaga kekudusan.
Ia sangat berhati-hati ketika memilih nada dan kata. “Melodi dan ritme harus mengabdi pada liturgi,” ujarnya.
Namun dalam lagu pop pun, ia tidak asal. Ia tetap menuntut adanya harmoni antara syair, melodi, dan style. Karena menurutnya, lagu yang baik tidak bisa hanya mengandalkan satu elemen. Harus selaras dari hati ke hati.
Di penghujung percakapan panjang dengan media IKEBANA, Sirilus memberi pesan yang sederhana tapi dalam:
“Kalau anak-anak kita sejak dini dikenalkan pada musik, tak perlu dipaksa bermain alat musik, cukup dibesarkan dalam lingkungan musikal — itu sudah cukup. Musik akan menemukan mereka sendiri.”
Karena ia percaya, dalam hidup ini, hukum tarik-menarik itu nyata. “Orang bisa menjadi seperti apa yang ia pikirkan.” Maka bila seorang anak selalu dikelilingi nada, cepat atau lambat, ia akan menjadi suara itu sendiri.
Sirilus mengajak kita semua — orang tua, guru, dan komunitas — untuk tidak memadamkan suara anak-anak kita. Biarkan mereka bersuara. Biarkan mereka menyanyi. Karena, menurutnya, musik adalah satu-satunya seni yang unggul atas semua seni lainnya — karena ia mengungkapkan keindahan dalam bentuk bunyi.
Sirilus menyebut dirinya dulu hanya “gelas kosong.” Ia tidak tahu apa-apa. Tapi ia mau belajar. Ia mau mencoba. Dan gelas kosong itu, perlahan diisi — oleh suara-suara para guru, pengalaman panggung, nyanyian anak-anak, dan gema misa di gereja kecil kampungnya.
Kini, gelas itu penuh. Tapi tak pernah tumpah. Ia malah mengalir dan menghidupkan orang lain.
Ia bukan Mozart. Bukan Beethoven. Tapi namanya disebut dalam hati umat, dalam suara koor anak-anak, dalam gema lagu pujian yang terus dinyanyikan — bahkan setelah ia tidak lagi hadir secara fisik.
Itulah keabadian yang diciptakan oleh nada. (*/gbm)





