Wajah Ganda Tradisi Kawin Tangkap di Pulau Sumba: Pentingnya Evolusi dan Adaptasi Tradisi Seturut Jaman

SULUHDESA.COM | Pulau Sumba, terletak di Nusa Tenggara Timur, Indonesia, memiliki tradisi kawin tangkap yang telah dijalankan oleh masyarakat setempat selama berabad-abad.

Tradisi ini melibatkan pemilihan pasangan hidup melalui suatu acara perburuan, yang sering disebut “Kawin Tangkap”.

Tulisan ini akan menganalisis tradisi tersebut dari dua perspektif yang berbeda, yaitu positif dan negatif.

Di sisi positif, tradisi kawin tangkap membentuk kekuatan dan identitas sosial yang kuat dalam masyarakat Sumba.

Acara perburuan ini mempertemukan keluarga dan tetangga dari berbagai desa untuk merayakan pernikahan.

Baca Juga: Video Kawin Tangkap Di Sumba Barat Daya Viral, Para Pelaku Ditangkap

Dalam rangkaian tradisi ini, masyarakat juga melibatkan tarian, musik, dan upacara adat yang kaya akan budaya.

Ini menciptakan ikatan kuat antara individu, keluarga, dan komunitas mereka.

Tradisi ini juga memberikan peluang pemberdayaan perempuan, karena calon pengantin wanita memiliki hak untuk menolak lamaran atau memilih pasangan yang diinginkan.

Dengan demikian, kawin tangkap dapat dilihat sebagai wujud kebebasan pemilihan pasangan dalam budaya mereka.

Namun, di balik pandangan positif ini, tradisi kawin tangkap juga menimbulkan beberapa konsekuensi negatif.

Salah satunya adalah masalah pelanggaran hak asasi manusia.

Baca Juga: Rasa Ketakutan di Sumba Barat Daya: Seorang Gadis Diculik Sekelompok Pria Untuk Kawin Paksa

Dalam beberapa kasus, pernikahan melalui kawin tangkap dapat menjadi bentuk pemaksaan atau penindasan terhadap perempuan.

Terkadang, calon pengantin perempuan mungkin mengalami tekanan dari keluarga atau masyarakat untuk menerima lamaran dan tidak diberikan pilihan bebas dalam menentukan pasangan hidup.

Hal ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan dan penindasan perempuan di dalam hubungan perkawinan.

Tahap akhir acara kawin tangkap juga melibatkan proses negosiasi mas kawin (dowry).

Meskipun tradisi ini diintegrasikan ke dalam budaya Sumba, seringkali proses ini melibatkan tekanan finansial yang berat bagi pihak laki-laki dan keluarganya.

Hal ini dapat memicu kemiskinan dan kerugian ekonomi yang serius bagi keluarga pengantin pria.

Dalam beberapa kasus, calon pengantin pria terpaksa melakukan tindakan tertentu, termasuk meminjam uang dengan suku bunga tinggi atau melakukan tindakan eksploitasi sumber daya alam, semata-mata untuk memenuhi tuntutan mas kawin.

Baca Juga: Menembus Batas Keindahan: Kampung Adat Ratenggaro dan Tabir Keajaiban di Bibir Muaranya

Ini memiliki dampak jangka panjang bagi ekonomi mereka, serta memberikan tekanan psikologis yang besar pada individu yang terlibat.

Selain itu, tradisi kawin tangkap berpotensi menghambat pembangunan sosial dan ekonomi di Pulau Sumba.

Fokus yang terlalu besar pada pernikahan melalui kawin tangkap dapat mengakibatkan prioritas pendidikan dan kesempatan kerja terabaikan.

Kurangnya aksesibilitas terhadap pendidikan formal dan kesempatan berkarir, terutama bagi perempuan, dapat menyebabkan pembatasan pada potensi individu dan perkembangan komunitas secara keseluruhan.

Baca Juga: Jejak Langkah Frans Wora Hebi Tersembunyi di Balik Catatan Pena

Dalam era globalisasi ini, penting bagi masyarakat di Sumba untuk memperhatikan perubahan sosial yang tumbuh dan mempertimbangkan alternatif yang memungkinkan di dalam pernikahan mereka.

Tradisi kawin tangkap di Pulau Sumba terlihat memiliki wajah ganda.

Di satu sisi, ia memperkuat ikatan sosial dan kultural dalam masyarakat Sumba serta memberikan kebebasan pemilihan pasangan bagi perempuan.

Di sisi lain, tradisi ini juga memiliki konsekuensi negatif seperti pelanggaran hak asasi manusia, ketidakseimbangan ekonomi, dan pembatasan perkembangan sosial.

Masyarakat Sumba perlu mempertimbangkan pentingnya evolusi dan adaptasi tradisi agar dapat sesuai dengan nilai-nilai universal yang diakui dalam era globalisasi. (*)

Pos terkait