Kupang, suluhdesa.com – Praktik pungutan liar dan dugaan mafia pelayanan di Pelni Cabang Kupang kembali terungkap.
Dua suster novisiat dari Kongregasi PRR yang hendak menyeberang dari pelabuhan Teno Kupang ke Larantuka menggunakan KM Tidar dipaksa membayar Rp 80.000 untuk kelebihan bagasi, meskipun barang bawaan mereka, seberat 50 kg, seharusnya dibagi untuk dua orang.
Kejadian ini disaksikan langsung oleh tim suluhdesa.com, Jumat (24/1/2024).
Barang bawaan kedua suster berupa beberapa kardus pakaian karena mereka tidak memiliki tas. Petugas Pelni dan aparat TNI yang berjaga di pintu masuk pelabuhan memaksa mereka untuk menimbang barang bawaan secara bersamaan, seolah-olah sebagai barang bawaan satu orang, meskipun banner aturan Pelni menetapkan batas maksimal 40 kg per orang.
Suster pemimpin komunitas PRR Sikumana, Suster Stanisia, yang mengantar mereka sempat memprotes, namun tetap dipaksa membayar karena kekurangan uang. Sebelumnya, mereka telah menolak tawaran jasa portir seharga Rp 150.000.
Investigasi suluhdesa.com menemukan indikasi persekongkolan antara petugas portir, petugas Pelni, dan aparat keamanan.
Setelah para suster menolak jasa portir, petugas portir langsung melaporkan hal tersebut kepada petugas Pelni, yang kemudian menjegal para suster dengan memaksa mereka menimbang barang bawaan.
Selama 15 menit pemantauan, terlihat banyak penumpang yang menggunakan jasa portir lolos tanpa penimbangan, sementara para suster diperlakukan berbeda.
Suster Stanisia mendesak pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, Gubernur NTT terpilih Melki Lakalena, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, untuk menindak tegas para pelaku praktik mafia di Pelabuhan Tenau Kupang agar kenyamanan penumpang terjamin.
Kejadian ini menunjukkan masih masifnya praktik pungli dan ketidakadilan di pelabuhan, yang merugikan masyarakat, khususnya mereka yang kurang mampu.**