Simulasi Estetik Pada Iklan Calon Legislatif

SULUHDESA.COM | Iklan yang dipajang di persimpangan jalan, jangan sampai merepresentasikan nasip pemilih akan diposisikan pada persimpangan jalan. Nilai keutamaan seorang caleg adalah telah berhenti pada dirinya. Yang dipikirkannya adalah nasip rakyat pemilihnya.

Oleh: Karolus Budiman Jama

(Dosen Seni Undana dan Koprodi S-2 Ilmu Linguistik PPs Undana)

Indonesia saat ini merayakan tahun politik. Februari nanti secara serentak akan dilakukan pemilihan presiden dan wakil presiden, dewan perwakilan daerah, dan legislatif dari tingkat daerah sampai pusat. Dalam pesta demokrasi ini, tentu setiap kita sudah memiliki pilihan, dan, mungkin juga belum atau sama sekali tidak memiliki pilihan dengan berbagai alasan. Harapannya adalah setiap kita yang telah memenuhi syarat undang-undang, sebagai warga negara yang baik tentu berpartisipasi aktif dalam pemilu 14 Februari 2024.

Baudrillard: Simulasi Estetik

Ruang public kita akhir-akhir ini disuguhkan iklan calon legislatif (caleg) dari berbagai partai dan daerah pemilihan. Mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Di setiap sudut ruang public kita, disuguhkan wajah-wajah yang bertarung untuk meraih suara terbanyak untuk terpilih sebagai legislator.

Iklan-iklan yang tersaji di ruang public hari ini merupakan cara kampanye praktis dan terbilang hemat. Para caleg tidak harus mengeluarkan biaya yang besar. Para caleg, cukup mencetak baliho dipercetakan. Mereka dapat menghemat biaya konsumsi saat kampanye, dan menekan biaya kunjungan ke berbagai titik kampanye. Cukup dengan memasang iklan yang berukuran kecil, dengan berbagai bentuk dan model desain mereka sudah memperkenalkan diri di ruang public.

Berbagai iklan para calon legislatif menarik untuk dikaji. Sebab, melalui iklan-iklan yang tersaji di ruang public, kita sebagai pemilih dapat mengenal dan mengetahui paling tidak dua hal yaitu kompetensi dan intensi setiap caleg.

Seorang teoritikus kebudayaan, fulsuf kontemporer dan pengamat politik, sosiolog, dan juga fotografer di Prancis, Jean Baudrillard memiliki teori yang kuat dalam membaca masyarakat modern. Salah satu konsep yang sampai hari ini dipakai oleh kelompok cultural studies dalam melihat masyarakat postmodern adalah simulacrum. Simulakrum adalah sebuah tiruan. Dalam simulacrum, ukuran dari kenyataan adalah simulasi itu sendiri.

Mengacu pada konsep simulacrum Baudrilard, iklan-iklan kampanye berada antara seni dan realitas. Realitas dan seni dalam iklan kampanye yang tersaji di raung public telah tercampur baur. Bagi Budrillard, realitas dan seni sesungguhnya telah runtuh, ini menjadi hiper-realitas.

Iklan-iklan politik yang tersaji di ruang public kita merepresentasikan berbagai hal. Namun representasi yang tersaji itu tidak mutlak sebagai sesuatu yang sebenarnya. Dibaca dalam perspektif simulacrum Baudrillard, desain yang disajikan belum tentu menunjukkan makna yang dimaui oleh calon pemilih. Itu adalah sebuah simulasi. Dan simulasi bisa saja salah.

Misalnya, tulisan atau pose calon legislatif. Tulisan dan pose yang disaji itu hanya sebagi pelengkap sebuah iklan. Esensi dari tulisan dan pose yang ditampilkan itu belum pasti memenuhi harapan public. Indikasi itu terlihat pada desain yang dibuat. Bisa saja iklan yang tersaji tidak melalui proses desain yang serius. Yang terpenting iklan itu mewakili diri seorang calon legislatif untuk dikenal oleh public.

Kesungguhan dalam mendisain iklan, setidaknya merepresentasi pesan yang menjadi program kerja calon legislatif. Program itu dapat disimbolkan dengan pemilihan kata dan pose yang dapat mewakili program dan rekam jejak. Melalui iklan, pemilih dapat mengetahui bidang kerja atau pada komisi yang nantinya ditempati oleh caleg.

Iklan para caleg yang tersaji dalam ruang public kita, tidak menunjukkan ketegasan itu. Mereka tidak menunjukkan performa dan bidang yang mereka geluti apabila nanti terpilih menjadi anggota legislatif. Yang diperlihatkan adalah simulasi estetik.

Padahal mereka dapat memanfaat iklan secara maksimal untuk menginformasikann kompetensi yang dimiliki. Iklan itu adalah media penyampai pesan yang kuat dan bukan sekadar memperkenalkan diri ke ruang public. Iklan bukan sekadar untuk dikonsumsi di ruang public yang kemudian menjadi sampah visual belaka.

Iklan yang disaji oleh caleg hanyalah simulasi estetik. Iklan caleg di ruang public hari ini tidak memberi kesan yang kuat dan pesan yang jelas bahwa nantinya mereka memperjuangkan nasib rakyat yang memilih mereka.

Desainer Grafis dan Representasi Nilai Caleg

Kehadiran caleg melalui iklan di ruang public, secara ekonomis cukup menguntungkan penguasaha percetakan. Akan tetapi, apakah desainernya secara langsung mendapat keuntungan ekonomi?

Dalam sebuah riset program doctoral kajian budaya Universitas Udayana, I Ketut Sutar Wiyasa melakukan  penelitian tentang perlawanan desainer grafis terhadap desain gratis di Kota Denpasar. Dalam risetnya itu, ia menjelaskan bahwa di Kota Denpasar, praktik desain gratis marak dilakukan. Desain gratis itu didasari pada dua hal, yaitu pertemanan dan hegemoni pemilik percetakan terhadap karyawan.

Hemat saya, fenomena desain gratis bukan hanya terjadi di Denpasar. Kupang sebagai Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak luput dari praktik desain gratis. Kalaupun para desain grafis itu dibayar, bayarnya juga tidak terlalu mahal. Atau bisa saja bayarannya sudah termasuk dalam gaji bulanan seorang karyawan percetakan.

Baudrillard menegaskan dalam era ini identitas seseorang tidak lagi ditentukan oleh dirinya sendiri. Identitas seseorang kini diintervensi oleh carut marutnya tanda, citra dan kode. Seseorang tidak lagi menjadi dirinya sendiri tetapi ditentukan oleh relasinya dengan orang lain.

Relasi yang dibangun, misalnya, ada jalinan pertemanan antardesainer grafis dan caleg atau juga tim sukses caleg. Keadaan ini yang sering kali terjadi, karena factor pertemanan dan hegemoni, kita mengabaikan profesionalisme seseorang. Kalaupun dibayar secara langsung, patut dicurigai bahwa itu, bisa saja bagian dari strategi kampanye. Bayaran itu lebih kepada pesan sponsor. Itu yang disebut oleh Marx sebagai kesadaran palsu dan Baudrillar sebagai simulasi/simulacrum.

Atas persoalan ini, para caleg dihadapkan pada sebuah nilai yang wajib diemban dengan penuh kesadaran. Sebagai caleg, dalam konteks ini, harus menjadi pelopor dalam mendukung profesi desainer grafis. Mereka harus diperhatikan dengan cara memberi apresiasi yang layak berdasarkan kerja sebagai desainer grafis. Praktik desain gratis ditahun politik atau pesta demokrasi ini harus dilawan. Bukan hanya gratifikasi suara di ruang coblos.

Melawan praktik desain gratis adalah bentuk penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Mendisain sebuah iklan tentu membutuhkan keterampilan khusus dan memiliki pengetahuan estetik. Desainer grafis dalam mendisain berbagai bentuk atau model didasari pada pertama, kemauan caleg sebagai pemesan. Kedua, ideologi partai yang diusungnya, dan ketiga, program serta bidang kerja.

Karena itu, di tangan para caleg-lah profesi desain grafis dan profesi seni lainnya dititipkan. Para seniman ini perlu diadvokasi melalui kebijakan yang dapat menumbuhkan ekonominya, meningkatkan keterampilan, dan keilmuan desain grafis.

Nilai yang utama dari seorang caleg adalah memperjuangkan program yang memihak pada kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, memperjuangkan kemakmuran peribadi caleg.

Iklan yang dipajang di persimpangan jalan, jangan sampai merepresentasikan nasip pemilih akan diposisikan pada persimpangan jalan. Nilai keutamaan seorang caleg adalah telah berhenti pada dirinya. Yang dipikirkannya adalah nasip rakyat pemilihnya.

Pos terkait