SULUH DESA | Sastra memiliki peran signifikan dalam formasi calon imam. Melalui karya sastra, mereka diajak mengenal diri, mengasah empati, memperkuat kepercayaan diri, melatih kreativitas, dan menemukan hiburan yang bermakna. Dalam perjalanan pendidikan ini, sastra menjadi corong refleksi diri yang mendalam dan membuka peluang bagi calon imam untuk memahami realitas kehidupan, seperti cinta, kedamaian, dan penderitaan. Sastra bukan hanya tentang keindahan kata, tetapi juga sarana membentuk karakter yang solider dan penuh tanggung jawab terhadap kemanusiaan.
Oleh: Andreas Laba Temu
Mahasiswa IFTK Ledalero
Manusia umumnya disebut makhluk yang indah. Disebut indah karena rupanya yang cantik dan elok sebagai makhluk ciptaan. Indah identik dengan seni. Kesenian tidak sembarangan hadir.
Ia hadir karena subyek-Allah-yang menciptakan dengan sentuhan-sentuhan dan polesan-polesan yang membuatnya menarik. Sebut saja manusia sebagai masterpiece Allah.
Sebagai makhluk ciptaan manusia berusaha menunjukan keberadaanya dengan juga mencipta sesuatu.
Salah satunya karya seni. (Selvia dalam Budi Kleden, 2006) mengutarakan bahwa karya-karya seni akan menyapa fantasi dan perasaan manusia sebab karya seni merupakan deretan kenangan yang diungkapkan dan dibahasakan.
Kenangan bisa juga pengalaman penderitaan. Singkatnya manusia mempresentasikan keberadaanya lewat karya seni.
Salah satu karya seni yang hampir setiap hari diciptakan manusia ialah sastra. Sastra itu bagaikan sosok ibu.
Sosok ibu memiliki kedekatan dengan anak-anaknya demikian juga sastra dekat dengan manusia.
Didalamnya ia memberi gambaran tentang realitas kehidupan manusia. Sastra hadir dengan segala keajaibannya.
Meski sastra tak berlari begitu jauh atau tak sehangat diskusi politik, tetapi sastra selalu hadir dengan militan kata-katanya.
Artinya kata-kata dalam sastra ialah kata-kata yang penuh gairah selain indah dibaca dan didengar.
Sastrawan Indonesia seperti Romo Mangunwijaya, Sapardi Djoko Damono, Ayu Utami dan Pramoedya Ananta Toer ialah tokoh-tokoh yang telah menyajikan karya sastra yang tidak hanya berkesan indah namun memiliki kedalaman isi.
Mereka telah bersuara lewat tulisan. Namun sastra tidak hanya hadir lewat novel, puisi dan cerpen. Adapun teater, drama dan skenario film adalah bagian dari seni sastra.
Sadar atau tidak sadar sastra membuka peluang melihat dunia lebih elok sekaligus sebagai ruang menyalurkan nilai-nilai yang perlu diwarisi.
Sastra dalam formasi pendidikan calon imam merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dan digesergantikan.
Namun apakah sastra itu penting bagi mereka? Penulis menganggap hal itu bersifat subyektif.
Namun sastra menggambarkan realitas kehidupan yang dialami manusia saat ini seperti cinta, peperangan, keindahan dan penderitaan.
Para calon imam semestinya menangkap itu dan memaknainya.
Lebih lanjut, muncul pertanyaan: Apakah sastra penting? Jika penting apa hubungan dengan manusia, terkhususnya para calon imam?
Dan apa peran sastra dalam formasi calon imam? Menjawabi pertanyaan diatas, penulis menemukan lima alasan yang dianggap penting dan memiliki relevansi dengan calon imam.
Begitulah, tulisan ini coba menempatkan sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dunia formasi pendidikan calon imam.
Pertama, proses mengenal diri. Seorang manusia yang tak mengenal dirinya adalah tanda perjalanan yang tidak terarah.
Tidak terarah dalam arti ia tidak memiliki ideal yang mau digapai. Maka dibutuhkan refleksi diri untuk bisa mengenal Who I am? “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi,” demikian Socrates menegaskan.
Dalam formasi calon imam umumnya mereka dibina untuk mengenal diri. Maka dibutuhkan ‘corong’ untuk memahami dirinya. Sastra berperan di sana.
Sastra membuka peluang bagi calon imam untuk masuk dalam realitas kehidupan. Penulis kira sebagai seorang calon imam, membaca karya sastra adalah salah satu proses mencapai yang ideal tersebut.
Di dalam karya-karya tersebut terkandung segumpalan makna dan menarik orang untuk berefleksi.
Para calon imam diajak untuk refleksi akan realitas kehidupan dan mencoba menghubungkan dengan diri mereka.
Maka, bukan tidak mungkin sastra membentuk para calon imam untuk memeluk realitas sosial entah itu cinta, kedamaiann, kerinduan, keindahan dan penderitaan.
Pengalamam-pengalaman itu adalah apa yang dialami manusia.
Sastra kemudian mengajak manusia terutama calon imam untuk terlibat akan pengalaman-pengalaman tersebut. Proses terlibat juga merupakan proses mengenal diri.
Kedua, bersastra berarti berempati. Calon imam dipersiapkan untuk memberitakan sabda dan membantu mereka yang menderita.
Solidaritas kepada mereka yang menderita terjawab ketika sikap empati juga ditanamkan. Tanpa sikap empati, manusia membiarkan manusia lain menjerit kesakitan.
Dalam surat Paus Frasnsiskus “On the role of Literature in Formation” atau “Peran Budaya Membaca Dalam Pembinaan Calon Imam”, Paus menekankan bahwa bahaya akan muncul jika setiap orang berhenti mendengarkan orang lain.
Lebih lanjut Paus menyukai definisi sastra yang diungkapkan pengarang besar asal Argentina Jorge Luis Borges bahwa sastra tidak lain adalah mendengarkan orang lain.
Berangkat dari pernyataan ini, sastra memiliki sumbangsih dalam formasi calon imam. Mereka dibantu untuk mengasah kepekaan hati terhadap orang lain.
Membaca karya sastra dan mengekspresiakan seni sastra adalah cara para calon imam berempati. Dengan kata lain, bersastra dan mengekspresikannya bukan berarti menjauh dari kemanusiaan.
Ketiga, Sastra memperkuat kepercayaan diri. Kepercayaan diri merupakan salah satu sikap yang melekat dalam diri setiap pribadi.
Para calon imam dituntut ‘ya’ menjadi pribadi yang percaya diri. Mereka sendiri adalah calon penggembala umat atau pemimpin masa depan.
Menjadi pemimpin berarti tidak terlepas dari sikap percaya diri. Selain untuk mengasah kepekaan, sastra juga berpotensi memantik rasa percaya diri. Rasa percaya diri tentunya lahir dalam diri. Demikian juga suatu karya sastra.
Ia tidak dibuahi oleh hasil ide belaka, namun melibatkan penjiwaan dalam diri.
sebab sastra juga adalah hasil dari penjiwaan seseorang akan sesuatu, maka sastra membuka peluang bagi setiap orang, khususnya calon imam untuk berusaha keluar dari dirinya. Setiap orang yang keluar dari dirinya adalah bentuk ekspresi diri.
Keterampilan seseorang berekpresi diri dalam karya seni-sastra-adalah salah satu cara sesorang membongkar kecemasan dalam diri untuk menunjukan suatu yang dinilai penting.
Misalnya bermain teater dapat membantu kepercayaan diri mereka dalam aksi pementasan.
Keempat, Melatih daya kreatif dan kritis. Selain sebagai pribadi yang berintegritas calon imam juga diarahkan menjadi pribadi yang kreatif dan kritis.
Untuk membangun sebuah kehidupan yang baik tentu lahir dari konsep yang baik pula. Para calon imam adalah calon pemimpin masa depan.
Mereka diminta menciptakan sesuatu yang kreatif untuk umat yang mereka layani.
Bukan tidak mungkin peran sastra membantu mengasah para calon imam dalam formasi untuk menjadi kreatif dan kritis mulai dari sekarang.
Sebab dalam bersastra sendiri mereka mengemukakan ide atau gagasan mereka sekaligus menganyamnya menjadi bahasa yang seni.
Kelima, hiburan yang bermakna. Adagium klasik berbunyi: “dulce ut utile”. Secara harafiah, frasa dalam bahasa latin berarti manis dan bermanfaat.
Hal ini berarti sastra harus ‘mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur’ (Damono, 2020) atau keindahan pada sastra semestinya memberikan manfaat.
Para calon imam ditarik untuk terjun ke dalam dunia sastra seraya berusaha menemukan makna dibaliknya.
Para calon imam tentunya menyukai suatu yang menghibur.
Bacaan-bacaan novel, puisi dan pementasan drama merupakan cemilan yang perlu dinikmati.
Lebih jauh lagi makna dari hiburan itu semestinya dihidupi.
Sastra itu bagaikan sosok ibu. Ia dekat dengan manusia. Calon imam juga manusia yang perlu dekat dengannya dan mencintainya.
Mencintai sastra adalah suatu hiburan. Begitu juga, dekat dengannya adalah proses belajar mencintai kemanusiaan dan alam.
Sastra sejatinya sudah ditakdirkan hidup berdekatan dengan calon imam dalam formasi pendidikan sebagai persiapan jangka panjang menjadi imam yang tanggap dan solider.
Refrensi
Surat Paus Fransiskus “On the role of Literature in Formation.” Dikeluarkan pada 17 Juli 2024.
Kleden, Paulus Budi. Membongkar Derita. Maumere: Ledalero, 2006.
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi dan Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2020.