SULUH DESA | Menciptakan kehidupan masyarakat yang demokratis adalah cita-cita dan misi utama reformasi. Sejak tumbangnya orde baru pada tahun 1998, Indonesia memutuskan untuk meninggalkan rezim autokritis dan lantas memulai suatu rezim baru yang disebut rezim demokrasi. Pada hakikatnya, demokrasi diyakini sebagai sistem pemerintahan terbaik karena menjunjung tinggi kesamaan hak . Namun dalam praktiknya, terjadi pergeseran nilai dan entitas dari demokrasi itu sendiri. Hal itu tanpak dalam tindakan diskriminasi kelompok mayoritas dan juga pemerintah terhadap kelompok minoritas. Berhadapan dengan realitas ini penulis berikhtiar untuk mengembalikan hakekat demokrasi dengan merevitalisasi nilai keadilan sosial.
Oleh : Dolinius Ladon
Mahasiswa Filsafat IFTK Ledalero
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi diyakini sebagai sistem pemerintahan yang paling baik dan mudah diterima di tengah arus zaman yang terus berubah.
Wiston Churhill, sebagaimana yang dikutip dalam JURNAL LEDALERO edisi Desember 2003 mengatakan;“ Indeed it has been said that democracy is the worst form of government execpt all these other forms that have been tried from time on time.”
Demokrasi adalah sistem pemerintahan terburuk kecuali (apabila dibandingkan dengan semua bentuk pemerintahan yang pernah dicoba dalam sejarah).
Hemat saya secara positif dirumuskan demikian; demokrasi adalah sebuah sistem terbaik dari semua sistem pemerintahan yang pernah ada dan dicoba.
Terutama bila merujuk pada berbagai dampak positif atas diterapkannya sistem demokrasi. Indonesia selain menganut sistem demokrasi secara universal, juga menganut sistem demokrasi yang bebasis Pancasila atau Demokrasi Pancasila.
Negara Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai suatu sistem dan ideologi.
Sebagai sistem demokrasi menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai patokan dan pegangan dalam kehidupan bersama.
Sedangkan sebagai ideologi demokrasi menjadikan Pancasila sebagai dasar dan juga standar serta prioritas untuk mencapai targetnya yakni mensejahterakan kehidupan bersama.
Akan tetapi, meskipun demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik dan berbasis Pancasila belum tentu luput dari berbagai permasalahan terlebih dalam praktiknya.
Mgr. Paul Budi Kleden, SVD, dalam tulisannya yang berjudul KENAPA DEMOKRASI? Mengatakan bahwa betapa pun baiknya demokrasi tidak akan sanggup menjamin penghargaan yang sepenuhnya terhadap HAM.
Dan salah satu bukti bahwa demokrasi tidak sepenuhnya menjamin penghargaan terhadap hak-hak asasi adalah tindakan diskriminasi terhadap golongan minoritas (agama, ras, budaya, LGBT, dan disibilitas).
Untuk menjawabi realitas ini penulis merasa urgen untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila khususnya nilai keadilan sosial.
Dengan merevitalisasi nilai keadilan, kesadaran masyarakat akan konsep demokrasi yang sesungguhnya, yang menekankan kesamaan harkat dan martabat semakin meningkat.
Demokrasi Sebagai Sitem Terbaik
Kendati bukan suatu ideal terbaik dalam pengaturan politik, demokrasi merupakan satu-satunya sistem yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga negara.
Bilang ingin dikatakan sebagai yang terbaik, maka tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa demokrasi merupakan model kekuasaan terbaik dari yang terburuk.
Demokrasi dimengerti sebagai kebenaran, konsep hidup baik dan ideologi yang menjadi sumber otoritas politik legitim satu-satunya.
Demokrasi merupakan konstitusi kebebasan dan hak-hak dasar individu guna melindungi diri dari kekuasaan negara dan hak-hak untuk berpartisipasi secara politis, (Otto Gusti, 2017).
Jika merujuk pada asal katanya, demokrasi berasal dari kata (demokratia). Demos berarti rakyat/people dan kratia berarti wewenang authority).
Dari asal katanya maka disimpulkan bahwa pengertian demokrasi adalah kekuasaan atau wewenang milik rakyat.
Rakyat adalah pemegang otoritas/kekuasaan tertinggi dalam kehidupan suatu negara.
Rakyat memiliki wewenang dan hak untuk mengatur diri mereka sendiri/self-determination sejauh itu tidak mengganggu kesejahteraan hidup bersama.
Maka hal utama yang mesti ditekankan dalam demokrasi adalah kebebasan individual yang setara antara satu dengan yang lain.
Tidak ada yang diistimewakan dan tidak ada yang diirendahkan., setiap orang selalu dalam konsep kesamaan harkat dam martabat sebagai manusia.
Lebih jauh, dalam konteks relasi antara manusia sebagai sebuah komunitas sosial dan politik, demokrasi harus memberi jaminan kepastian atas koeksistensi damai.
Demokrasi harus mampu menjamin kenyamanan dan kedamaian hidup masyarakat sebagai unsur utama dalam dirinya.
Realitas Problem Diskriminasi
Di tengah perjuangan bersama menata demokrasi ke arah yang lebih baik, bangsa Indonesia justru berhadapan dengan fakta diskriminasi terhadap kelompok minoritas antara lain etnis, agama, ras, disabilitas, dan LGBT.
Problem diskriminasi adalah fakta yang tidak dapat dielakan karena nyata terjadi dalam kehidupan masyrakat Indonesia.
Segala bentuk tindakan dan perlakuan tidak adil terhadap kelompok minoritas singkatnya disebut diskriminasi.
Irish Marion Young, memetakan beberapa bentuk “diskriminasi” terhadap kelompok minoritas antara lain, pemerasan, marginalisasi, imperalisme dan kekerasan.
Jika marginalisasi dan kekerasan mengungkapkan ukuran atau prameter diskriminasi dalam konteks pembagian kerja sosial, maka imperalisme dan kekerasan adalah fenomena sosial (Redem Kono, 2016).
Di sini segala bentuk praktik dan simbol kultural kelompok mayoritas mendapat prioritas dan menjadi norma umum yang berlaku juga bagi kelompok- kelompok lain (minoritas).
Atas dasar ini sehingga tidak heran kalau problem diskriminasi kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas seringkali terjadi dalam tubuh demokrasi.
Pada titik ini penulis berpendapat bahwa praksisnya sistem demokrasi di Indonesia belum berjalan maksimal sebagaimana yang dimandatkan UUD dan Pancasila.
Situasi yang terjadi 26 tahun silam masih dialami hingga kini. Era Reformasi seolah gagal mewujudkan hakekat demokrasi yang sesungguhnya.
Berbagai krisis dan persoalan tanpak di permukaan dan melabrak demokrasi itu sendiri.
Alih –alih memperjuangkan demokrasi yang inklusif, namun sayangnya realitas justru berkata lain.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih merajalela dan malah lebih gawat dari rezim Soeharto.
Pada saat yang sama radikalisme dan diskriminasi agama, ras, etnis, budaya, disabilitas, dan LGBT merengsek menggila-gila. Intoleransi pun menjadi- jadi.
Istilah diskriminasi telah dikenal dalam bahasa Inggris to discriminate sejak awal abad ke-17.
Istilah ini berasal dari bahasa Latin discriminate, berakar dari kata dis (berarti memilah atau memisah) dan crimen (berarti dibedakan berdasarkan suatu pertimbangan baik-buruk).
Pada abad ke-18, istilah “diskriminasi” hanya digunakan dalam arti biasa “untuk membedakan”.
Namun sejak perang saudara di Amerika, istilah discrimination mulai berkembang sebagai kosakata bahasa Inggris untuk menjelaskan tentang perlakuan merugikan terhadap individu yang semata-mata didasarkan pada ras mereka, yang kemudian digeneralisir sebagai keanggotaan dalam kelompok atau kategori tertentu yang tidak diinginkan secara sosial (Renata Aryaningtyas. 2009).
Beberapa bentuk dan contoh tindakan diskriminasi yang kerap kali terjadi di Indonesia.
Pertama, diskriminasi etnis, ini sudah ada dan dimulai sejak Orde Baru dan berlansung sampai sekarang.
Dalam deklarasi, kovenan, dan konvensi internasioanal yang menyusul sejak PBB berdiri, negara- negara anggota sepakat bahwa semua umat manusia memiliki hak yang sama dan tidak dapat dicabut serta berikrar akan menjamin dan mempertahankan hak tersebut.
Namun meskipun demikian, diskriminasi ras tetap mejadi batu penghalang bagi perwujudan hak asasi manusia sepenuhnya.
Diskriminasi ras dan etnis diartikan sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan terhadap hak asasi dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik ,ekonomi, sosial, dan budaya.
Definisi ras dan etnis memiliki perbedaan. Ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan sedangkan etnis adalah penggolongan berdasarkan kepercayaan, kebiasaan atau tradisi, adat istiadat norma bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatan.
Terkait masalah diskriminasi ras dan etnis yang terjadi di Indonesia.
Menurut laporan Alternatif Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi di Indonesia sampai saat ini masih terdapat berbagai praktik diskriminasi rasial.
Salah satu contoh tindakan diskriminasi ras dan etnis yang terjadi di Indonesia adalah; tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.
Tindakan ini didasarkan pada cap buruk terhadap etnis Tionghoa oleh masyarakat pribumi dan pemerintah Indonesia.
Masyarakat pribumi menganggap bahawa etnis Tionghoa adalah penguasa yang lalim dalam bidang ekonomi.
Etnis Tionghoa dianggap memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi.
Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi para penguasa pribumi. Sedangkan pemerintah menggolongkan etnis Tionghoa sebagai warga negara kelas dua atau disebut Timor Asing.
Etnis Cina atau Tionghoa adalah korban tindakan diskriminasi kelompok mayoritas, itu terjadi sangat luar biasa dan tercatat dalam sejarah kelam bangsa ini.
Peristiwa mengerikan itu berlangsung pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan Solo.
Gerombolan masa yang rata-rata berasal dari kelompok mayoritas (warga pribumi) membakar dan menyita harta benda kelompok etnis Tionghoa.
Lebih miris lagi banyak dari mereka dihina dan dipukul. Wanita-wanita menjadi sasaran pelecehan dan kekerasan.
Selain itu, dari berbagai daerah dan lebih sering di Papua, dilaporkan masih banyak terjadi kekerasan horizontal yang melibatkan unsur-unsur polisi dan militer.
Penganiayaan masih terus dialami oleh kelompok masyarakat seperti buruh, petani, ,masyarakat adat, dan mahasiswa. Laporan terbaru dari Organisasi Human Rights Watch per September 2024, menyebutkan bahwa tindakan diskriminasi dan penangkapan yang terjadi pada orang asli Papua selama masa pemerintahan Joko Widodo sangat kelihatan dan jumlahnya sangat banyak jika dibandingkan dengan era presiden sebelumnya.
Hampir 99% penangkapan orang Papua berkaitan dengan rasialisme (HRW,19/09/2024).
Setelah dimulainya masa reformasi hingga saat ini, hakekat demokrasi yang sesungguhnya sebagaimana yang dikehendaki rakyat Indonesia tidak berlaku di Papua.
Rakyat Papua seringkali dihina , tidak dihargai dan menurut Zeli Ariane masyarakat Papua sesungguhnya adalah korban sekaligus tumbal bagi persekongkokolan pemodal internasional, militer dan pemerintah Indonesia atas sumber daya yang kaya di tanah yang belum juga merdeka.
Kedua, diskriminasi atas nama agama. Diskriminasi agama adalah bentuk tindakan dengan memperlakukan orang atau kelompok tertentu secara berbeda.
Di Indonesia yang seringkali menjadi korban diskriminasi adalah agama minoritas (Katolik).
Pada tahun 2010 tercatat terjadi 43 serangan terhadap Gereja yang dilakukan oleh sekolompok militan Islam.
Pada 17 Desember 2018 teerjadi kasus berupa pemotongan salib pada nisan seorang umat katolik di Yogyakarta.
Pada awal 2020 terjadi polemik soal renovasi Gereja di Karinum (Akademika, 2020).
Dan kasus yang masih hangat diperbincangkan diarena publik akhir-akhir ini adalah peristiwa pembubaran sekolompok mahasiswa Katolik yang sedang berdoa Rosario oleh sekelompok pemuda Islam, di Tangggerang pada April 2024.
Ketiga, diskriminasi atas nama kelompok heteroseksusl (LGBT). Seperti kebanyakan kelompok minoritas, kelompok homoseksual dan biseksual rentan terhadap prasangka dan diskriminasi dari kelompok mayoritas.
Mereka dapat menjadi target kebencian karena seksualitas mereka; istilah untuk kebencian yang didasarkan orientasi seksual seseorang disebut homofobia.
Banyak orang yang terus memiliki prasangka negatif terhadap mereka yang memiliki orientasi non-heteroseksual dan akan mendiskriminasinya.
Orang-orang dengan orientasi seksual yang tidak umum lainnya juga mengalami diskriminasi.
Satu studi menunjukkan sampel heteroseksual lebih berprasangka buruk terhadap orang aseksual dibandingkan terhadap orang homoseksual atau biseksual (Rohani. Edisi Juli 2018).
Contoh masalah diskriminasi terhadap kelompok LGBT terjadi pada September 2020 di Jakarta. Sekelompok militan Muslim memaksa panitia sebuah festifal film gay untuk menghentikan kegiatan mereka.
Keempat, Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas atau orang-orang yang berkebutuhan khusus.
Diskriminasi disabilitas memperlakukan individu non-disabilitas sebagai standar ‘kehidupan normal’, menghasilkan tempat dan layanan publik dan pribadi, pengaturan pendidikan, dan layanan sosial yang dibangun untuk melayani orang-orang ‘ normal’, dengan demikian mengecualikan mereka yang memiliki disabilitas tertentu.
Penelitian telah menunjukkan bahwa penyandang disabilitas tidak hanya membutuhkan pekerjaan agar mereka dapat mencari nafkah tetapi mereka juga membutuhkan pekerjaan untuk mempertahankan kesehatan mental dan kesejahteraan mereka.
Penyandang disabilitas sering ditemukan terisolasi secara sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Praktik diskriminasi terhadap penyandang disabilitas banyak ditemukan di sekitar kita.
Beberapa kasus diskrimansi di atas menggambarkan atmosfer hidup bersama di Indonesia yang senantiasa diwarnai fakta pengabaian hak-hak kaum minoritas.
Semuanya ini menunjukan kemandekan demokrasi yang berbasis pada Pancasila.
Nilai-nilai pancasila sebagai sistem dan ideologi dari demokrasi itu sendiri seolah kehilangan daya untuk menata kedaulatan dan kesejahteraan hidup bersama masyarakat Indonesia.
Revitalisasi Nilai Keadilan
Era Orde Baru (ORBA) adalah era di mana nilai-nilai Pancasila khususnya nilai keadilan sosial dicederai.
Pencederaan itu nampak dalam pelangaran HAM, aksi represif, pembungkaman, pemerintahan bergaya totalitarianisme, pembunuhan atas demokrasi dan sederet aksi biadab lainnya.
Ketidakpuasan rakyat atas semua itu berbuntut pada aksi 1998. Era yang kemudian disebut Orde Reformasi.
Di mana rakyat menuntut keadilan dan reformasi atas perjalanan bangsa. Tidak dapat disangkal pula bahwa era reformasi adalah titik awal kesadaran merevitalisasi nilai-nilai Pancasila secara keseluruhan.
Onghokham menyebut bahwa Pancasila terlalu banyak ditekankan sebagai ideologi (Onghokham. 1999).
Ia melontarkan pertanyaan retoris berbunyi, “mana bisa ideologi terdiri dari lima kalimat?” olehnya Pancasila mesti pula dilihat sebagai suatu perjanjian atau dokumen politik yang dibuat sebelum negara Indonesia didirikan.
Pancasila dapat pula dilihat sebagai suatu agreement, suatu perjanjian yang mendasar, khususnya pada saat itu antara Kristen dan golongan Islam atau Islam dan golongan Kristen.
Penolakan atas Jakarta Charter atau piagam Jakarta melahirkan Pancasila.
Dalam perjanjian itu dikatakan bahwa negara ini bukan negara Islam, bukan negara Kristen, bukan negara kelompok mayoritas, bukan negara golongan ini atau juga golongan itu.
Jadi jelaslah jika dilihat dari proses pertumbuhannya, Pancasila adalah suatu perjanjian mendasar atas pendirian negara ini.
Konsekuensinya jelas, jika perjanjian itu tidak diikuti, Indonesia bubar sebagai negara dan hal ini menekankan bahwa Pancasila adalah perjanjian eksistensi negara.
Realitas diskriminasi yang menjamur di negara ini, mengikuti cara pandang di atas, adalah pengingkaran atas janji pendirian negara ini.
Indonesia bukan milik satu golongan, Indonesia adalah milik bersama.
Revitalisasi nilai-nilai Pancasila terlebih khusus nilai keadilan adalah upaya mengembalikan Indonesia sebagi milik bersama dan juga upaya untuk mendamaikan diskriminasi dalam tubuh demokrasi.
Demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia sejatinya merupakan demokrasi yang berkeadilan sosial.
Artinya bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang berasas dan bertumpuan pada nilai keadilan sosial.
Tujuan utama dirumuskanya nilai keadilan sebagai salah satu batu pijak atau landasan dari sistem demokrasi bangsa ini adalah supaya tercapainya kehidupan masyarakat yang demokratis ; yang adil, sejahtera, makmur dan bebas dari ketimpangan “diskriminasi”.
Tentu saja ini bukanlah hal yang mudah untuk dicapai mengingat minimnya pemahaman dan juga mungkin lemahnya daya ingat masyarakat tentang konsep keadilan yang sesungguhnya sudah ada sejak bangsa ini didirikan.
Kekurangpahaman masyarakat indonesia tentang konsep keadilan yang fair berujung pada pergeseran nilai-nilai pancasila, sehingga terjadi berbagai tindakan yang bertentangan dengan nilai keadilan.
Maka dari itu penulis mencoba untuk menyegarkan dan menghidupkan kembali nilai keadilan sosial dengan menelaah konsep keadilan menurut John Rawls.
Penulis menyedarhanankan keadilan Rawls ke dalam konteks negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila.
Rawls melihat keadilan sebagai kebajikan utama yang mesti dimiliki dan dihidupi oleh setiap pribadi manusia.
Karena kebajikan itu yang menggerakan dan meringankan cipta rasa dan karya manusia untuk senantiasa memberikan pada pihak lain segala sesuatu yang menjadi hak mereka, sehingga masing-masing pihak mendapat kesempatan yang sama untuk menjalankan hak dan kewajibannya tanpa ada rintangan.
Dalam hal ini, Rawls memberikan tempat yang memadai dan khusus untuk penghargaan terhadap hak-hak pribadi dan juga hak orang lain.
Berkenaan dengan itu, Aristoteles bersama gurunya Plato juga menyebut keadilan sebagai kebajikan yang utama dan lengkap.
Lengkap dalam artian seutuhnya karena keadilan bukan hanya nilai yang harus dimiliki dan berhenti pada taraf memilikinya saja bagi diri sendiri tetapi juga memilikinnya untuk orang lain.
Memperlakukan keadilan sebagai kebajikan utama, berarti memberikan ruang yang sama bagi orang lain untuk mengembangkan dan menikmati harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu ditandai dengan adanya kebebasan.
Karena itu kebebasan mesti mendapat prioritas. Dengan itu hak- hak setiap orang itu dijamin khususnya mereka yang dalam bahasa Rawls belum atau kurang beruntung (kelompok minoritas: agama,ras, etnis, disabilitas, dan LGBT, yang secara sosial berada pada posisi marginal), dalam meningkatkan mutu hidupnya sebagai manusia.
Hal ini berarti bahwa tidak ada kesenjangan atau perbedaan antara yang mayoritas dan minoritas.
Keduanya mendapat porsi yang sama. Melalui cara ini setiap pribadi “kaum minoritas” dapat melihat dirinya sebagai pribadi yang bernilai.
Lebih jauh, Rawls melihat bahwa konsep keadilannya harus dimengerti sebagai keadilan yang fair, dalam arti tidak hanya mereka yang memiliki talenta atau kemampuan yang lebih baik, atau mereka yang lahir dan hidup normal saja yang berhak menikmati kesejahteraan, kemakmuran dan kedaulatan hidup melainkan juga harus membuka peluang bagi yang lain untuk meningkatkan prospek hidup.
Inti dari konsep keadilan Rawls adalah kesetaraan hak dan kebebasan setiap pribadi manusia tanpa terkecuali.
Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya kapan dan di mana saja tanpa harus menutup peluang atau kemungkinan bagi orang lain untuk bebas mengekspresikan dirinya juga.
Dengan demikian keadilan hanya boleh disebut sebagai sebuah kebajikan (sebagaiamana yang diutarakan oleh John Rawls dan yang didukung oleh Aristoteles), apabila ia tidak hanya berorientasi pada diri pemilik kebajikan, tetapi juga terarah pada kebajikan orang lain (Andre Ata Ujan, 2001).
Singkatnya keadilan menjadi kebajikan karena membuka peluang dan keuntungan bagi yang lain untuk mengekspresikan kualitas dirinya.
Dengan memahami keadilan sebagai kebajikan yang utama, maka tidaklah sulit bagi masyarakat Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan yang demokratis, yang bebas dari ketimpangan-ketimpangan sosial khususnya diskriminasi.
Penutup
Patut diakui bahwa demokrasi yang dijalankan di Indonesia memberikan banyak suntikan positif bagi kehidupan masyarakat di satu sisi.
Misalnya, adanya kebebasan untuk berekspresi, berargument, berserikat, menyatakan pendapat, dan kebebesan untuk menemukan jati diri sebagai manusia yang bermartabat.
Namun di sisi lain, selalu saja ada penodaan terhadap esensi demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik dan yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila.
Selain korupsi yang meraja lela, intoleransi yang menjadi-jadi, dan radikalisme yang menggila-gila, persoalan lain yang sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip demokrasi ialah diskriminasi terhadap hak-hak minoritas.
Kelompok minoritas (etnis, ras, suku, agama, disabilitas, dan LGBT) di Indonesia seringkali menjadi korban diskriminasi kelompok mayoritas. Problem ini mengakar kuat dalam tubuh demokrasi Indonesia dan sangat sulit untuk dihapuskan.
Pengabaian atau kurangnya respek terhadap hak-hak kaum minoritas adalah potret buram demokrasi Indonesia.
Hal ini tentu juga menjadi penghambat dalam usaha mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis.
Menghadapi realitas yang memiluhkan ini, penulis merasa urgen untuk merevitalisasi nilai- nilai Pancasila khususnya nilai keadilan sebagai upaya untuk mengembalikan hakekat demokrasi.
Dengan menghidupkan kembali nilai utama di atas, warga negara atau demos disadarkan akan eksistensi diri mereka sebagai manusia yang bermartabat.
Dalam artian mempunyai kebebasan yang sama. Selain itu mereka juga disadarkan bahwa sesungguhnya demokrasi di Indonesia ialah demokrasi yang berkeadilan sosial.
Daftar Pustaka
Jurnal, Ledalero. Pemilu dan Demokratisasi, Vol.7 No.2,Desember2008.
Ujan, Andre. Keadilan dan Demokrasi, (Telaah Filsafat Politik John Rawls).Yogyakarta Penerbit Kanisius, 2001.
Jurnal, Ledalereo. Merefleksikan Demokrasi, Vol. 2, No.2, Desember 2003.
Renata, Arianingtyas. Memahami Diskriminasi dalam Buku Saku Kebebasan Beragama.Jakarta Selatan. Penerbitn ILRC, 2009.
https;// www.hrw.org/id/news/2024/09/19/Indonesia-racism-discrimination-againts-indigenous-Papuans, diakses pada 05/10/2024.
Onghokham, Suatu Agenda Mendasar, dalam Visi dan Agenda Reformasi Menuju Masyarakat Indonesia Baru, Kanisius, 1999.