Yang menarik, Reba tidak saja menjadi kesempatan istimewa bagi orang Doka Radabata untuk berkumpul dalam rumah adat masing-masing.
Reba juga menjadi kesempatan berahmat karena segala permusuhan, perselisihan dalam keluarga harus berakhir saat itu juga.
Lewat Reba, manusia seperti ‘terlahir baru’. Baru dalam sikap, tutur kata dan perbuatan. Sebab dalam pesta Reba, anak-anak generasi baru selalu diingatkan akan Pata Dela (Suara Leluhur).
Penulis: Ostond Suru
SuluhDesa.com | Kata “Budaya” berasal dari Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni bentuk jamak dari “Budhi” (akal).
Jadi, budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan akal. Selain itu kata budaya juga berarti “budi dan daya” atau daya dari budi. Budaya adalah segala daya dari budi, yakni cipta, rasa dan karsa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya artinya pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Baca Juga: Pembenaran Manusia dalam Konsep Thomas Aquinas dan Konsili Trente dengan Ritus Budaya Reba Ngada
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh sekumpulan anggota masyarakat.
Merumuskan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Era globalisasi dapat menimbulkan perubahan pola hidup masyarakat yang lebih modern. Akibatnya masyarakat cenderung untuk memilih kebudayaan baru yang dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal.
Salah satu faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan di masa sekarang adalah; kurangnya generasi penerus yang memiliki minat untuk belajar dan mewarisi kebudayaanny sendiri.
Oleh karena itu, penulisan artikel ini bertujuan untuk memaparkan tentang upaya melestarikan budaya Indoesia di era globalisasi.
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif dengan teknik studi pustaka dalam mengumpulkan data.
Menurut Maliowski, Budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yang lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya.
Teori Malinowski ini sangat nampak dalam pergeseran nilai-nilai budaya kita yang condong ke Barat.
Dalam era globalisasi informasi menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Untuk mengatasi hal ini, perlu kesadaran akan pentingnya budaya lokal sebagai jati diri bangsa.
Kewajiban bagi setiap lapisan masyarakat untuk mempertahankannya, di mana peran generasi muda sangat diharapkan untuk terus berusaha mewarisi budaya lokal dan akan menjadi kekuatan bagi eksistensi budaya lokal itu sendiri walaupun diterpa arus globalisasi.
Upaya dalam Menjaga dan melestarikan budaya Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara. Yaitu; Culture Experience dan Culture Knowledge.
Bertumbuh atas dasar kesadaran alamiah manusia sebagai makhluk sosial dengan segala konsekuensinya.
Di tengah masyarakat ini, manusia bertumbuh dan berkembang. Manusia bertumbuh menjadi pribadi yang sejati sekaligus manusia berusaha mengembangkan diri dalam mempertahankan kelangsungan keturunannya.
Di tengah masyarakat ini pula, manusia membangun dan mengembangkan jalinan relasi sosial. Manusia membentuk sebuah sistem kekerabatan. Kekerabatan adalah pranata sosial yang paling penting di dalam sebuah komunitas masyarakat.
Komunitas kekerabatan dalam banyak hal mengurusi kelangsungan hidup sebuah kelompok dan anggota kelompok, seperti: perkawinan, keamanan dan jati diri sosial kelompok. Kekerabatan sebagai pranata sosial berusaha mengantar manusia ke dalam tataran nilai yang luhur.
Artinya, sistem kekerabatan membantu manusia untuk hidup baik dengan menjujung tinggi nilai, norma dan aturan di dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat menuju kehidupan bersama secara layak, makmur, aman, tenteram, damai, dan sejahtera.
Di dalam masyarakat Ngadhu-Bhaga (Bajawa-Ngada), khususnya masyarakat Kampung Doka, Desa Radabata, terdapat juga sistem kekerabatan.
Sistem kekerabatan itu terdiri atas tiga komunitas kekerabatan, yakni sistem kekerabatan woe, sistem kekerabatan berdasarkan ideologi ‘darah sejati’ dan sistem kekerabatan berdasarkan perkawinan.
Sistem kekerabatan ini adalah hasil reprensentasi interaksi manusia, bukan hanya sebagai kontak ‘tubuh diri’ yang bersifat personal semata-mata, tetapi juga memuat interaksi ‘tubuh diri’ yang bersifat sosial.
Kekerabatan woe (klan/suku) adalah kesatuan sosial berdasarkan hubungan genealogis. Artinya, secara genealogis seluruh anggota woe berasal dari leluhur yang sama, mempunyai pertalian hubungan darah langsung dari leluhur yang sama.
Namun, pada saat ini, keturunan langsung yang dimaksud di atas sudah mulai berkurang bahkan hampir tidak ada di dalam setiap woe di dalam Kampung Doka.
Hal ini dikarenakan oleh kematian dan juga oleh karena kurangnya anggota yang berjenis kelamin perempuan di dalam sebuah woe (masyarakat Ngadhu menganut budaya matrilineal).
Dasar pembentukan dari persekutuan ini adalah kesadaran akan kesamaan leluhur yang menurunkan mereka. Mereka bersatu atas kesadaran bahwa mereka berasal dari keturunan ibu-bapak asal yang sama, yang mana dalam sistem simbolnya terungkap dalam ikon-ikon adat berikut: ngadhu-bhaga, meri-peo dan anaie.
Artinya, mereka bersatu karena diikat oleh kesamaan leluhur yang disimbolkan oleh ngadhu-bhaga, meri-peo, dan anaie.
Woe sebagai sistem kekerabatan orang Ngadhu pada umumnya dan orang Doka pada khususnya, menunjuk juga pada status sosial yang dimiliki oleh seseorang. Orang yang berkumpul dalam satu woe (klan) juga disebut ‘satu pintu’ atau mogo seone, ‘satu rahim’ atau mogo setuka (mogo: bersama, tuka: rahim).
Pengertian mogo seone dan mogo setuka (‘satu rahim’) diartikan sebagai berasal dari satu rahim ibu yang sama.
Woe adalah bagian penting dalam kehidupan sosial masyarakat Ngadhu pada umumnya dan masyarakat Kampung Doka pada khususnya.
Woe sangat menentukan interaksi sosial manusia di dalamnya, khususnya dalam hal perkawinan dan dalam proses pewarisan harta benda.
Reba Sebagai Momen untuk menghidupkan kembali budaya Persaudaraan
Manusia pendukungnya tetap berkembang biak bersama alam lingkungan dan terus menghidupi Reba, dari generasi ke generasi.
Yang menarik, Reba tidak saja menjadi kesempatan istimewa bagi orang Doka Radabata untuk berkumpul dalam rumah adat masing-masing.
Reba juga menjadi kesempatan berahmat karena segala permusuhan, perselisihan dalam keluarga harus berakhir saat itu juga.
Lewat Reba, manusia seperti ‘terlahir baru’. Baru dalam sikap, tutur kata dan perbuatan. Sebab dalam pesta Reba, anak-anak generasi baru selalu diingatkan akan Pata Dela (Suara Leluhur).
“Dewa zeta nitu zale (percaya pada Tuhan YME). Bhodha molo ngata go kita ata (menaruh hormat pada kemanusiaan).
Dhepo da be’o, tedu da bepu (meneladani para pendahulu). Dhuzu punu ne’e nama raka (belajar dan bekerja sampai tuntas).
Dua wi uma nuka wi sa’o (pergi ke kebun dan kembali ke rumah; cari pekerjaan yang baik, sehingga bisa kembali ke rumah dengan selamat)”.
“Modhe-modhe ne’e soga woe, meku ne’e doa delu (berbuat baik dengan sahabat). Maku ne’e da fai walu, kago ne’e da ana salo (bersimpati dengan para janda dan anak yatim piatu; bersimpati dengan kaum miskin dan terlantar).
Go ngata go ngata, go tenge go tenge (milik orang lain, biarlah menjadi milik orang lain; akuilah milik orang lain; jangan serakah). Kedhu sebu pusi sebu (mengutamakan nilai-nilai luhur). Bugu kungu nee uri logo (tekun bekerja dan menikmati hasil)
Yang menarik, Reba tidak saja menjadi kesempatan istimewa bagi orang Doka untuk berkumpul dalam rumah adat masing-masing.
Reba juga menjadi kesempatan berahmat karena segala permusuhan, perselisihan dalam keluarga harus berakhir saat itu juga.
Lewat Reba, manusia seperti ‘terlahir baru’. Baru dalam sikap, tutur kata dan perbuatan. Sebab dalam pesta Reba, anak-anak generasi baru selalu diingatkan akan Pata Dela (Suara Leluhur).
“Dewa zeta nitu zale (percaya pada Tuhan YME). Bhodha molo ngata go kita ata (menaruh hormat pada kemanusiaan). Dhepo da be’o, tedu da bepu (meneladani para pendahulu).
Dhuzu punu ne’e nama raka (belajar dan bekerja sampai tuntas). Dua wi uma nuka wi sa’o (pergi ke kebun dan kembali ke rumah; cari pekerjaan yang baik, sehingga bisa kembali ke rumah dengan selamat)”.
“Modhe-modhe ne’e soga woe, meku ne’e doa delu (berbuat baik dengan sahabat). Maku ne’e da fai walu, kago ne’e da ana salo (bersimpati dengan para janda dan anak yatim piatu; bersimpati dengan kaum miskin dan terlantar).
Go ngata go ngata, go tenge go tenge (milik orang lain, biarlah menjadi milik orang lain; akuilah milik orang lain; jangan serakah).
Kedhu sebu pusi sebu (mengutamakan nilai-nilai luhur). Bugu kungu nee uri logo (tekun bekerja dan menikmati keringat sendiri)”.
Tepat pada hari ini, masyarakat Doka Radabata (Desa Radabata Kec. Golewa Kab. Ngada) merayakan pesta Reba.
Reba yang akan berlangsung selama satu minggu ini semoga menumbuhkan kembali nilai persaudaraan dan kekerabatan agar dapat kembali mempererat tali persaudaraan sebagai satu keluarga, suku maupun masyarakat dalam lingkup itu sendiri.
Selamat pesta Reba buat masyarakat Doka Radabata 31 Desember 2023– 06 Januari 2024. ***