Bale Nagi bukan sekadar sebuah lagu dengan nada dan syair yang indah. Lebih dari itu, Bale Nagi menggambarkan suasana atau rutinitas yang mungkin dirindukan oleh setiap individu. Kerinduan ini kadang datang kapan saja dan mengajak kita untuk pulang, kembali ke kampung halaman, kembali ke kebiasaan atau rutinitas kita yang melambangkan diri kita sebagai individu. Hingga pada akhirnya, kita akan kembali ke Nagi sesungguhnya yakni kembali kedalam pelukan Sang Ilahi.
Oleh : Giorgio Babo Moggi
SULUHDESA.COM | Pada hari Jumat, tanggal 8 September 2023, sebuah peristiwa besar terjadi dalam sejarah pemerintahan provinsi Nusa Tenggara Timur.
Masa kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2018-2023, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A Nae Soi telah berakhir, dan penjabat gubernur baru Ayodhia GL Kalake datang.
Prosesi seremonial pemindahan kepemimpinan sudah dilangsungkan di Jakarta, Selasa (5/9/2023), namun hari ini adalah seremoni pisah sambut pemimpin tertinggi di NTT.
Ini adalah momen yang sangat penting, karena menandai akhir kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A Nae Soi yang telah mengabdikan diri selama 5 tahun, serta menyambut sang pemimpin baru yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan selama satu tahun ke depan, Ayodhia GL Kalake.
Dua peristiwa yang berbeda, yang datang dan yang pergi.
Tentu saja ada perasaan haru, sedih, dan suka cita.
Semua perasaan ini melebur menjadi satu.
Peristiwa ini juga mengingatkan saya pada ucapan yang menarik dari Wakil Gubernur NTT, Dr. Josef A Nae Soi saat menyampaikan pidato dalam acara di Aula El Tari yang dipenuhi oleh undangan dan aparatur sipil negara lingkup Pemerintah Provinsi NTT.
Ia mengatakan, “Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya.”
Ungkapan ini mencerminkan situasi hari ini.
Masa kepemimpinan Viktor dan Josef berakhir, dan masa Ayodhia GL Kalake dimulai.
Tidak ada yang abadi dalam diri manusia, apalagi soal jabatan atau kekuasaan.
Semuanya berakhir dan berganti. Segala sesuatu bersifat sementara.
Di sela-sela acara, saya berbisik kepada teman yang duduk bersebelahan, bahwa paduan suara seharusnya menyanyikan lagu “Bale Nagi” karena lagu ini dapat mewakili baik kedatangan (Ayodhia GL Kalake) maupun kepergian (Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A Nae Soi).
Lagu ini pasti sudah tidak asing bagi pembaca.
Lagu legendaris yang sudah terkenal sejak penuolis masih remaja, dan masih populer hingga saat ini.
Lagu ini sering kali dinyanyikan oleh seorang individu, sekelompok orang, atau band dalam berbagai situasi santai atau acara tertentu.
“Bale Nagi” adalah lagu yang menggambarkan kerinduan seseorang akan tanah kelahirannya.
Kenangan-kenangan yang terekam di dalam memorinya mengajaknya pulang dari negeri perantauan.
Meskipun lagu ini menggambarkan situasi di Flores Timur dengan menggunakan bahasa Melayu Larantuka, “Nagi” dalam konteks yang lebih luas dapat merepresentasikan kampung halaman atau tanah air kita masing-masing.
“Bale Nagi” adalah cerita tentang kerinduan akan tanah air tercinta.
Kerinduan akan rutinitas hidup yang pernah kita alami di kampung.
Dalam hal ini, lagu “Bale Nagi” juga bisa menggambarkan sosok Ayodhia GL Kalake, penjabat gubernur NTT yang berasal dari Lamahala, Adonara, Flores Timur.
Meskipun ia tidak lahir di sana dan tidak dibesarkan di kampung ayahnya, darah Lamahala-Adonara mengalir dalam tubuhnya.
Seperti yang diakui oleh Ayodhia sendiri dalam sambutannya saat acara pisah sambut, “NTT telah membekas sejak saya masih dalam kandungan ibu saya.”
Dengan tugas perutusan yang baru menjadi kesempatan baginya untuk membuktikan kisah-kisah yang [mungkin] pernah diceritakan ayahnya.
Namun, “Bale Nagi” juga dapat menggambarkan keadaan kedua sosok mantan gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A Nae Soi.
Dengan masa tugas mereka yang telah berakhir, mereka dapat kembali (bale, Red) ke Nagi – ke tempat asal mereka.
“Nagi” di sini mewakili asal atau tempat tinggal mereka.
Mereka bisa kembali ke rutinitas dan kehidupan sebelum mereka menjabat sebagai gubernur/wakil gubernur.
Selama lima tahun, mereka terpisah dari keluarga, teman, kerabat, dan anak-anak mereka, serta kebiasaan-kebiasaan atau keseharian hidup ( habitus) sebelum mereka menahkodai NTT.
Tentu saja, mereka ingin kembali ke Nagi, ke tempat asal mereka seperti yang dilukiskan di atas.
Dalam perspektif yang lebih luas, “Bale Nagi” bukan hanya sekadar nada dan lirik yang dinyanyikan.
Lebih dari itu, “Bale Nagi” adalah frase konotatif yang menggambarkan suasana atau habitus kita.
Terkadang, kerinduan ini datang kapan saja dalam memori kita.
Terkadang pula, kerinduan ini mengajak kita untuk pulang; pulang ke kampung halaman, pulang ke kebiasaan dan habitus kita. Siapapun diri kita.
Dengan menggambarkan kerinduan yang mendalam ini, kita semua bisa memahami situasi yang sedang terjadi di NTT saat ini.
Perpisahan dengan mantan pemimpin dan penyambutan pemimpin baru memberikan haru dan kegembiraan yang sama-sama dirasakan.
Semua berharap agar NTT terus berkembang dan sukses di bawah kepemimpinan Ayodhia GL Kalake.
Semoga setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin baru ini membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Tentu, setiap langkah yang direngkuh, setiap kata yang diucapkan, senantiasa memaknai Bale Nagi – berakar pada adat dan budaya leluhur NTT.
Mantan Gubernur NTT periode 2023-2025, Viktor Bungtilu Laiskodat, dalam pidato pada momen ini, menggarisbawahi: NTT adalah Nusa Toleransi Tertinggi.
Toleransi bukan muncul tiba-tiba, tetapi melalui proses kristalisasi perjuangan para leluhur dalam keberagaman yang menjadikan NTT sebagai Indonesia yang ada di Nusa Tenggara Timur (Indonesia mini, Red).
Toleransi adalah warisan leluhur yang tak pernah pudar karena waktu, yang terindah lebih daripada kemilau permata, dan menjadi alasan bagi kita untuk selalu “Bale Nagi” (rindu atau pulang) sebelum kembali ke “Nagi” sejati dalam pelukan Sang Ilahi.
Sembari berharap, kita semua menantikan masa depan NTT yang gemilang, tempat yang telah menjadi rumah bagi kita semua, tempat yang kita rindukan, dan tempat yang kita cintai dengan setulus hati.
Terima kasih Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bapak Josef A Nae Soi, serta selamat datang Bapak Ayodhia GL Kalake. (*)