HUMANIORA, suluhdesa.com | Ekspresi kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dilakukan dengan beragam cara. Dimulai dari permainan, perlombaan, fashion show hingga upacara bendera.
Rupa-rupa ekspresi. Tapi, orang menuju pada titik yang sama. Merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia dalam suasana syukur dan penuh suka cita.
Permainan, perlombaan, tarian dan sebagainya merupakan ekpresi yang umum dan bisa menjadi cara-cara untuk menghormati perjuangan atau jasa-jasa para pahlawan.
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memiliki pandangan lain. Ada ungkapannya yang menohok, ibarat sebuah sembilu yang menembus jantung.
“Anda tidak perlu angkat senjata ke medan perang seperti jaman dulu, Anda cukup jangan korupsi saja itu sudah cukup.”
Ahok benar. Tantangan sebenarnya saat ini bagaimana melawan korupsi. Penulis teringat dengan warning sang pendiri bangsa Ir. Soekarno.
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Penglihatan mata batin Soekarno sudah jauh kedepan, melampaui jamannya, dan terbukti kini.
Selepas kemerdekaan, bangsa ini dirundung berbagai masalah. Mulai dari konflik sosial, masalah ekonomi, masalah keamanan dan deretan masalah lainnya. Persoalan-persoalan tersebut benar-benar menguji keutuhan bangsa.
Kita mesti dan harus bersyukur, meskipun langkah bangsa ini tertatih-tatih, sampai juga pada usia ke-77.
Ya, Republik Indonesia genap berusia 77 tahun pada tahun ini. Usianya pun akan terus bertambah seiring berjalannya waktu.
Bangsa ini tidak saja bertambah usia, ia pula berkembang seturut jamannya.
Namun, apakah dengan perubahan di dalam dirinya lantas kita melupakan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa?
Jawabannya, tentu tidak! Negara Republik Indonesia dengan ideologinya Pancasila merupakan bangsa yang adaptif, mengikuti perubahan namun tidak terbawa arus perubahan itu.
Ia tetap menunjukkan jati dirinya. Jati diri bangsa dalam wujud kekayaan nilai-nilai budaya yang diekspresikan melalui musik, lagu, tarian dan bentuk-bentuk ekspresi lainnya.
Maka pada momen seperti ini, generasi muda diarahkan untuk kembali bernostalgia tentang hakikat kekayaan budaya bangsa ini.
Sevisi dengan Ahok, tapi dalam nada dasar yang berbeda, penjiwaan momentum kemerdekaan dan menghormati jasa para pahlawan dapat pula melalui ekspresi budaya sekaligus menjadi ekspresi kemerdekaan.
Kebudayaan bangsa tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan. Justeru nilai-nilai kebudayaan itulah menjadi fondasi dan perekat perjuangan bangsa.
Kemenangan bangsa Indonesia terhadap penjajah tak semata-mata karena kekuatan senjata. Kalau perjuangan itu diraih karena the power of gun, Belanda atau Jepang jauh lebih unggul karena dibekali persenjataan modern pada zamannya.
Sementara bangsa ini hanya andalkan bambu runcing. Toh, jika ada senjata mungkin pula senjata rebutan atau bekas pakai musuh pada zaman itu.
Kekuatan bangsa ini terletak pada pondasi nilai-nilai budaya dan kearifikan lokal yang menyatukan. Bhineka Tunggal Ika.
Wujud kebudayaan tak hanya pada tataran bahasa, tarian dan nyanyian, melainkan meliputi pada mantra-mantra adat, busana tradisional, filosofi serta pertama dan terutama karena keyakinan pada Rahmat Allah Yang Maha Bijaksana.
Presiden Joko Widodo menyadari betul akan hal tersebut. Itu sebabnya, salah satu keteladanannya mengenakan busana tradisional pada upacara kemerdekaan setiap tahunnya.
Mengenakan busana tradisional merupakan ekspresi kemerdekaan. Selain eksrepesi, hal tersebut adalah cara lain dari sebuah narasi.
Narasi tak harus menguraikan maksud dalam deretan kata-kata nan indah. Narasi dapat dalam wujud sebuah simbol, gerakan dan nyanyian.
Narasi yang dimaksudkan sebagaimana dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara Badan Kepegawaian Daerah Provinsi NTT, yang mengekspresikan kemerdekaan melalui tarian Tebe dan nyanyian Oras Loro Malirin dari Kabupaten Malaka.
Tarian Tebe adalah ekspresi kegembiraan. Dibalik ekspresi tersebut terdapat pesan atau makna yang dinarasikan para penari melalui gerakan dan nyanyian.
Tebe memiliki nilai historis. Dikisahkan, para ksatria (para Meo, bahasa Timor) yang pulang dari medan tempur dan membawa kepala musuh. Kepala-kepala tersebut dipancangkan di halaman tengah kampung. Mereka akan mengelilingi tiang pancang kepala musuh selama semalam suntuk dan hal tersebut dapat berlangsung selama 3-4 hari.
Dalam situasi tersebut, Tebe menjadi tarian suka cita atas keberhasilan atau kemenangan para ksatria di medan perang.
Pria dan wanita bergandengan tangan. Mereka sambil melantunkan syair dan pantun. Syair dan pantun biasanya berupa puji-pujian, kritikan atau permohonan. Mereka sesekali menghentakan kaki ke bumi sesuai irama lagu yang dinyanyikan.
Dikutip dari berbagai sumber, dalam tradisi Belu dan Malaka, Tebe biasanya dilakukan pada saat pesta hasil panen jagung (Hamis), acara religi, dan pendinginan rumah adat (rumah pemali).
Tarian Tebe dilakukan oleh semua kalangan di masyarakat, entah anak-anak, remaja, dewasa, tua, orang miskin, orang kaya dan strata sosial lainnya. Semua mereka menyatu dalam lingkaran Tebe, bergandengan tangan tanpa batas strata.
Kita menyaksikan wajah-wajah penari tersenyum bahagia karena saat itulah kita bisa mengekspresikan kegembiraan.
Dengan hadirnya Tebe dalam rangka menyemarakan Hut Kemerdekaan RI ke-77 meninggalkan beberapa pesan, diantaranya, pertama, kemerdekaan adalah puncak dari kulminasi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajah.
Kemenangan itu harus dirayakan. Melalui Tebe dimaknai bahwa kemenangan itu melewati proses atau perjuangan bercucuran keringat dan darah. Dan, hasil perjuangan itu harus nyata (direpresetansikan oleh kepala musuh yang dibawah pulang).
Kemenangan itu tak menjadi milik perorangan, kelompok atau para kastria yang bertempur di medan juang. Kemenangan adalah milik semua warga kampung dan dirayakan pula oleh seluruh masyarakat.
Kedua, perbedaan adalah kekuatan. Sejarah telah membuktikan bahwa kemerdekaan ini hadir atas heterogenitas bangsa, bukan lahir dari situasi atau keadaan yang homogen.
Tak ada pihak saling mengklaim diri, kelompok yang berjasa dan yang bukan, kalangan elit dan yang bukan, dan sebagainya. Sadar akan keberagaman itu, maka diperlukan perekat atau pemersatu.
Simbol perekat atau persatuan itu terbaca dari sikap bergandengan tangan dalam menari Tebe. Semua orang melebur dalam suasana yang sama dan saling berpada dalam kata dan tindakan.
Ketiga, selain perekat, dibutuhkan pula harmonisasi. Harmonisasi dalam Tebe direprsesantikan oleh gerakan tubuh, kaki dan tangan penari yang berirama.
Bagaimana sebuah bangsa bisa hidup harmonis jika tanpa perekat yang mempersatukan?
Bagaimana mungkin kemerdekaan dapat diisi dengan hal-hal positif jika keadaan atau kondisi bangsa tidak harmonis?
Harmonisasi hendaknya terus dihidupkan dan dimanifestasikan pada seluruh sendi kehidupan manusia. Harmonisasi dapat melanggengkan keberadaan sebuah bangsa.
Selain Tebe, ASN BKD Provinsi NTT melantunkan lagu Oras Loro Malirin sebagai ekspresi kemerdekaan pada HUT RI ke-77.
Pilihan pada lagu ini sangat relevan dengan momentum ini. Sebelum membahas makna atau pesan syair ini, alangkah baiknya menyimak syair otentik dan terjemahnya secara utuh.
Oras loro malirin
(Waktu surya terbenam)
Teu tanis lakateu tanis
(Anak merpati menangis)
Tanis na’ak nian ina, ro sina sa’e ro sina
(Menangisi induknya yang pergi dengan kapal)
Taka sela ba kuda
(Pasang pelana kuda)
Lun turu bete lun turu
(Air mata gadis bercucuran)
Bete keta lun turu
(Janganlah gadis menangis)
Mai kikar ba mai kikar
(Kupergi dan akan kembali)
Ohin kala sei rani
(Malam ini berkumpul)
Ai ida mutu ai ida
(Hinggap sedahan)
Awam emi ain tasi
(Besok kalian ke laut)
Ain tasi ami ain foho
(Kami akan ke gunung)
Sama dengan Tebe, lagu ini memiliki pesan yang relevan dengan HUT Kemerdekaan RI.
Bila pada Tebe menarasikan hakikat kemerdekaan melalui proses, semangat egaliter dan harmonisasi, maka syair Oras Loron Malirin menarasikan pasca kemerdekaan atau tepatnya bagaimana mengisi kemerdekaan ini.
Kemerdekaan telah diraih. Kita tak harus memegang senjata dan turun di medan perang.
Memang kolonialisme telah berakhir, tetapi kolonialisme gaya baru terus bermunculan. Ir. Soekarno sudah meningatkan kita sejak awal.
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Ini menjadi tangan kita pasca kemerdekaan. Kita dengan berbagai beragam profesi, ada guru, PNS, dosen, petani, peternak atau nelayan dan sebagainya. Masing-masing memiliki tugas dan tanggungjawab. Tujuan dan tempat pengabdian pun berbeda-beda. Misalnya, ada yang ke laut (pelaut), ada yang ke gunung (petani).
Dalam syair Oras Loro Malirin sangat gamblang menggambarkan keadaan atau realitas sekarang ini. Hal ini terbaca dari syair-syair berikut.
Tanis na’ak nian ina, ro sina sa’e ro sina
(Menangisi induknya yang pergi dengan kapal)
Mai kikar ba mai kikar
(Kupergi dan akan kembali)
Awam emi ain tasi
(Besok kalian ke laut)
Ain tasi ami ain foho
(Kami akan ke gunung)
Kadang perpisahan itu menyedihkan tetapi rela kita lakukan untuk mengisi hidup kita. Pada waktunya kita harus berpisah atau pergi karena panggilan tugas. Tetapi pada waktunya pula kita akan berkumpul kembali.
Bete keta lun turu (Janganlah gadis menangis). Mai kikar ba mai kikar (Kupergi dan akan kembali). (gbm)