METAFORA SISYPHUS TENTANG JOKOWI: Makin Tua Makin Jadi (Matumaja)

 

Penulis: Mario G. Afeanpah


SuluhDesa.com | Sambil menghitung hari, menanti penceblosan. Tampak seorang anak sedang asyik mendengar nyanyian Tappe Recorder milik Ayahnya.

Nyanyian yang tidak pernah kadaluwarsa, yang dinyanyikan oleh Silet Open Up-Matumaja (Makin Tua Makin Jadi).

Di tengah keasyikan sang anak, Ayahnya bertanya: Apa yang kau sukai dari lagu ini?

Keadaan menjelang pemilu beberapa hari terakhir ini mendapat perhatian khusus dari pelbagai elemen masyarakat.

Baca Juga: Penguatan Karakter Pemuda Sebagai Global Citizen dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Nusantara

Dikotomi antara keuntungan dan kecemasan mendulang pada tangan-tangan penuh harapan, bahwa masa depan emas yang dibutuhkan, dan bukan kecemasan.

Sikap bar-bar dari Jokowi, sungguh mengartikan Idonesia emas tidak pernah tercapai. Mungkin, tercapai kalau ‘Emasnya Jokowi’ terus berkilau.

Jawab sang anak: tetap saja, yang Tua tidak pernah puas.

GAJI, BANSOS, WHY?

Sangat mudah mengidamkan masa depan, lantas kenapa tidak menikmati saat ini? Tindakan kebaikan selalu mendapat porsi yang benar, kebenaran tersebut tidak semata satu arah, sepihak.

Dasar tindakan Jokowi, justru menakutkan setiap manusia Indonesia untuk menikmati masa saat ini. Kasus korupsi secara tidak langsung menampilkan sosoknya.

Mekanisme keputusan tindakan Jokowi tentunya sudah melalui Dewan Legislatif atau wakil rakyat dan daerah, yang memiliki bayang-bayang ‘Cahaya pada Gibran’.

Sehingga, poin tentang keuntungan dan kecemasan terjawab. Untung karena menunjang kehidupan para ASN, dan cemas karena hak berpolitik ditunggangkan hanya pada satu orang. Jelas, bahwa hanya guru yang lebih hebat dari murid.

Keadaan tersebut secara langsung menampilkan keburukan dari ‘kehadiran wakil rakyat’. Penderitaan Gen-Z semakin menjadi, 2,1 Juta Gen-Z dengan gangguan mental bukan kesengajaan.

Status ODGJ semakin melekat dan menjadi label Gen-Z. Bahkan imajinasi pun harus tersistem dan terstruktur. Sri Mulyani sedang mengidap ganguan yang sama.

Mobilisasi dana tidak merujuk pada keadilan sosial. Komitmen terhadap prosedur, namun pelaksanaan menyeleweng prosedur. Inilah yang menjadi landasan dari ‘Kado Jokowi’.

Investasi negara menjadi batu sandungan penumpukan utang negara, uang dikuras, para investor kabur, infastruktur lebih halal. Bukan saja Gibran yang dikubur hidup-hidup, kita juga siap untuk menemani Gibran.

KITA SIAPA?

Kewaspadaan Jokowi berlandas pada ‘kekuasaan’ yang berarti hubungan darah memilki peran penting di masa lansianya. Kelas-kelas sosial Marx dihidupi kembali.

Tidak ada yang lebih dari pemilik kekuasaan. Yang menarik dari kita, ahli-ahli mengheningkan cipta. Otonomi tubuh oleh Jokowi menari lepas; bebas menguras.

Kerja keras Jokowi mengingatkan saya akan sebuah mitos Yunani-Kuno, Sisyphus yang dipopulerkan oleh Albert Camus, dan sangat metafora.

Sisyphus adalah seorang raja yang menyinggung para dewa dan ia kemudian dijatuhi hukuman ‘Abadi di Dunia Bawah’.

Tugasnya adalah menggulingkan sebuah batu besar ke atas bukit, tetapi setiap kali dia mendekati puncak, batu itu akan menggelinding kembali ke bawah, memaksanya untuk memulai dari awal. Siklus ini akan berulang tanpa batas waktu.

Mitos Sisyphus tersebut mengilustrasikan konsep Absurd; konflik inheren antara keinginan manusia terhadap makna dan ketidakbermaknaan alam semesta.

Tugas Sisyphus yang abadi dan sia-sia menjadi simbol kondisi manusia, sebagaimana individu dihadapkan pada Absurditas hidup dan kurangnya makna yang melekat.

Penekanan dari kisah Sisyphus oleh Camus adalah ‘orang harus membayangkan bahwa Sisyphus bahagia’ Jokowi mungkin bahagia, berusaha menjadi pribadi yang otentik, berusaha menembusi Absurditas manusia-manusia Indonesia.

Sedangkan ia sendiri tidak menyadari pemaknaan manusia-manusia Indonesia tentang Absurditas sangat diidentikkan dengan dirinya. Justru terjadi, landasan batu yang digunakannya adalah kemanusiaan manusia Indonesia.

Konsekuensinya, keberadaan batu pada puncak bukit sangat ditentukan oleh manusia-manusia indonesia.

Prinsip kebebasan Jokowi, ialah bebas untuk. Bebas untuk menegaskan keutamaan objek. Yang berarti bahwa, saat uang berputar kekuasaan dimiliki.

Terkait subjek, tidak lain adalah neraka. Harus disingkirkan. Jokowi sungguh tidak memaknai kehadirannya sebagai subjek yang otentik, keotentikannya harus di atas penderitaan. Makin tua makin jadi, ya.

BELAJAR PADA DERIDA

Dekonstruksi Derida merupakan upaya pencarian makna dari strukturalisme akibat dari pelbagai permainan bahasa.

Janji setiap paslon, merupakan upaya meningkatkan permainan bahasa, yang mana kebenaran dimanipulasi secara berkala tanpa memperhatikan esensi dari keberadaannya sebagai wakil rakyat.

Pembelokan Derida, menunjukkan pergantian perspektif terus-menerus yang merujuk pada kesesuaian antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan.

Sehingga, sebagai penganut sistem demokrasi manusia-manusia Indonesia tidak terjebak dalam situasi tertentu, dengan akibat yang fatal.

Tanda sebagai poin dasar argumen Derida, sangat nyata dalam kehidupan bersama. Makna dibalik tanda itulah yang menjadi harapan bersama; tanda kematian atau tanda kehidupan.

Perlu diakui bahwa adanya ‘data’ sangat menentukan kehidupan bersama. Namun, perlu diperhatikan bahwa kesimpulan didapati saat setiap kata diselami, menemukan kebenaran dari data-data yang ada.

Dengan demikian, DASEIN sungguh menemukan keberadaannya secara tepat, dan mampu membangun relasi dengan sesama tanpa keutamaan MIT DASEIN, diobjektivasi, bukan objek. ***

Pos terkait