Menggali Potensi Desa Mandiri: Tantangan dan Solusi Setelah Satu Dekade UU Desa Diberlakukan

SULUHDESA.COM | Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2004 merupakan tonggak penting dalam sejarah pemerintahan desa di Indonesia.

Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Agustus 2024, undang-undang ini memberikan otonomi penuh kepada desa untuk mengelola potensi lokal mereka.

Semangat otonomi ini dimaksudkan untuk memberdayakan desa dalam mengembangkan ekonomi lokal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mengurangi ketimpangan dengan wilayah perkotaan.

Pemberlakuan UU Desa juga bertujuan untuk mendukung keberlanjutan pembangunan desa yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial.

Salah satu manifestasi dari inisiatif ini adalah penetapan 15 Januari sebagai Hari Desa yang dirayakan melalui Keputusan Presiden No. 23 Tahun 2014.

Hari Desa ini tidak hanya menjadi simbol pengakuan terhadap peran penting desa dalam pembangunan nasional, tetapi juga momentum bagi desa untuk merefleksikan capaian dan tantangan yang dihadapi dalam mengelola potensi mereka.

UU Desa memberikan kerangka hukum yang jelas bagi desa untuk merancang dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal.

Ini mencakup berbagai aspek seperti pengelolaan sumber daya alam, peningkatan sarana infrastruktur, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.

Desa diharapkan dapat menggali dan mengoptimalkan tiap potensi lokal yang ada untuk menciptakan kemandirian serta meningkatkan taraf hidup masyarakat desa.

Namun, perjalanan implementasi UU Desa selama satu dekade tidak lepas dari tantangan.

Kendala birokrasi, kurangnya sumber daya manusia yang kompeten, serta keterbatasan dana sering menjadi hambatan dalam mewujudkan tujuan otonomi desa yang ideal.

Tetapi, di balik tantangan tersebut, banyak desa yang berhasil menunjukkan inovasi dan kreativitas dalam menggali potensi lokal mereka.

Harapan dan Realitas Desa Mandiri

Undang-Undang Desa sejak diberlakukan sebuah dekade yang lalu telah membawa angin segar bagi aksi pemberdayaan desa.

Tujuan luhur dari regulasi ini adalah menciptakan desa yang mandiri dan mampu mengelola sumber dayanya sendiri untuk kesejahteraan masyarakat.

Namun, meskipun pemerintah telah mengucurkan dana desa dalam jumlah signifikan, faktanya masih banyak desa yang belum mampu mencapai kemandirian ekonomi yang diidamkan.

Dana desa yang diberikan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kualitas infrastruktur, pelayanan publik, pemberdayaan ekonomi, dan kesejahteraan sosial.

Namun, berbagai kendala menyebabkan hasil yang diharapkan belum terpenuhi.

Beberapa tantangan utama yang dihadapi oleh desa-desa tersebut antara lain adalah kurangnya kemampuan manajerial, minimnya kapasitas sumber daya manusia, serta rendahnya teknologi dan akses terhadap informasi.

Pola pikir masyarakat desa yang masih sangat bergantung pada pemerintah juga menjadi salah satu penghambat tercapainya desa mandiri.

Tidak hanya itu, masalah internal seperti korupsi, birokrasi yang berbelit-belit, dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana desa turut menyumbang pada lambatnya pencapaian kemandirian.

Sebagai solusi, diperlukan penguatan struktur pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan dan edukasi yang intensif.

Pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama dalam membangun sistem yang lebih akuntabel dan transparan.

Langkah lainnya yang dapat diambil adalah dengan memperkuat akses terhadap teknologi dan inovasi, yang dapat membuka peluang baru bagi pengembangan usaha desa.

Pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan dapat memainkan peran penting dalam mengubah pola pikir masyarakat agar lebih proaktif dan kreatif dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

Tantangan dalam Pembangunan Desa

Salah satu elemen kunci dalam Undang-Undang Desa adalah pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), bertujuan untuk mengelola potensi ekonomi desa dan memberdayakan masyarakat setempat.

Namun, implementasi BUMDes masih menemui berbagai kendala signifikan yang menghambat optimalisasi tujuan tersebut.

Salah satu tantangan utama adalah perbedaan persepsi kinerja antara pemerintah dan pengelola BUMDes.

Pemerintah sering kali menitikberatkan pada aspek kepatuhan administratif dan pencapaian target, sementara pengelola lebih fokus pada keberlangsungan dan adaptasi usaha sesuai kondisi lokal.

Selain itu, ketidakjelasan regulasi juga menjadi isu krusial.

Aturan-aturan yang berubah-ubah atau belum terperinci menciptakan kebingungan di kalangan pengelola BUMDes.

Hal ini berdampak pada ketidakstabilan operasional yang menggagalkan kontinuitas program dan usaha yang sudah dibangun.

Ketidakjelasan regulasi ini juga memperburuk masalah akuntabilitas dan transparansi, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pengelolaan BUMDes.

Metode pemeringkatan BUMDes yang kurang efektif juga menjadi tantangan hingga kini.

Sistem pemeringkatan ini sering kali tidak mencerminkan kondisi dan prestasi riil dari BUMDes.

Konsekuensinya, banyak desa yang merasa pekerjaannya tidak dihargai dengan semestinya, yang pada akhirnya menurunkan semangat kerja dan inovasi pengelola.

Minimnya pengembangan kapasitas pengelola turut menjadi penghambat utama dalam pembangunan desa.

Pengelola sering kali tidak dibekali dengan pelatihan atau pengetahuan yang memadai untuk menjalankan BUMDes dengan baik.

Mereka kekurangan kemampuan dalam hal manajemen, finansial, dan pengembangan usaha yang adaptif, sehingga usaha yang dijalankan BUMDes kurang kompetitif dan sulit berkembang.

Mengatasi berbagai tantangan ini memerlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya.

Penyusunan regulasi yang jelas dan berkelanjutan, sistem pemeringkatan yang lebih representatif, serta pengembangan kapasitas yang terstruktur akan sangat membantu dalam mengoptimalkan peran dan fungsi BUMDes dalam pembangunan desa.

Persepsi Kinerja yang Berbeda

Salah satu tantangan signifikan dalam implementasi Undang-Undang Desa setelah satu dekade pemberlakuan adalah perbedaan persepsi mengenai kinerja antara pemerintah dan pengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Ketidaksepahaman ini menciptakan hambatan dalam menyinergikan tujuan dan pencapaian sasaran pembangunan desa.

Pemerintah cenderung fokus pada indikator keuangan sebagai tolak ukur keberhasilan BUMDes.

Penilaian ini didasarkan pada kontribusi langsung BUMDes terhadap Pendapatan Asli Desa (PADes) dan kemampuan menghasilkan laba yang signifikan.

Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan ketahanan finansial desa serta menyediakan sumber pendanaan yang lebih mandiri untuk proyek-proyek pembangunan.

Di sisi lain, pengelola BUMDes menekankan pentingnya kontribusi sosial dan keberlanjutan dalam operasionalnya.

Bagi mereka, menciptakan lapangan kerja lokal, memberdayakan masyarakat, serta mendukung inisiatif sosial adalah komponen kunci yang menentukan keberhasilan.

Pendekatan ini sering kali menitikberatkan pada pemberdayaan kapasitas lokal dan pembangunan manusia sebagai modal utama desa.

Perbedaan fokus ini—antara pemerintah yang mengutamakan target finansial dan pengelola BUMDes yang memprioritaskan dampak sosial—dapat menyebabkan ketegangan dan ketidakefektifan dalam mencapai tujuan bersama.

Hasilnya, berbagai inisiatif yang awalnya dimaksudkan untuk memperkuat kemandirian desa menjadi terhambat oleh perbedaan cara pandang terhadap kinerja yang diharapkan.

Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya dialog yang lebih intensif dan pemahaman yang komprehensif mengenai prioritas dan harapan masing-masing pihak.

Pemerintah harus lebih terbuka terhadap nilai-nilai sosial yang dipegang oleh pengelola BUMDes, sementara pengelola perlu mengintegrasikan pengukuran finansial ke dalam strategi mereka, sehingga kedua aspek tersebut dapat berjalan seiring untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan desa secara holistik.

Ketidakjelasan dalam Regulasi

Regulasi yang mengatur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sering kali memberikan keleluasaan yang besar dalam menentukan bidang usaha.

Hal ini tentunya memberikan ruang kreativitas kepada masing-masing desa untuk menyesuaikan kegiatan usaha dengan potensi lokal yang ada.

Namun, keleluasaan tersebut juga menimbulkan sejumlah tantangan, terutama dalam menentukan indikator kinerja yang harus dicapai oleh BUMDes.

Ketidakjelasan dalam regulasi ini menyebabkan interpretasi yang beragam dari satu desa ke desa lainnya.

Misalnya, beberapa desa mungkin fokus pada sektor pertanian, sementara yang lain lebih memilih untuk mengembangkan pariwisata atau industri kreatif.

Tanpa indikator kinerja yang tegas, sulit untuk menilai sejauh mana keberhasilan suatu BUMDes dalam mengembangkan usahanya.

Alhasil, beberapa BUMDes yang sebenarnya memiliki potensi besar bisa jadi tampak kurang berprestasi.

Selain itu, ketidakjelasan dalam regulasi ini juga menyulitkan BUMDes dalam menetapkan prioritas kerja.

Ketika tidak ada panduan yang jelas mengenai standar kinerja, BUMDes mungkin akan kesulitan dalam menyusun rencana strategis yang efektif.

Hal ini tentu dapat menghambat pencapaian tujuan pembangunan desa mandiri yang diharapkan dapat dicapai melalui kehadiran BUMDes.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait sebaiknya mempertimbangkan untuk memperbaharui regulasi yang ada.

Penetapan indikator kinerja yang lebih jelas dan spesifik dapat membantu BUMDes dalam mengarahkan fokus dan upaya mereka.

Selain itu, pelatihan dan pendampingan bagi pengelola BUMDes juga merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa BUMDes dapat berkembang dengan baik, sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing desa.

Metode Pemeringkatan yang Kurang Efektif

Dalam upaya mengukur kinerja dan potensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), metode pemeringkatan saat ini banyak menggunakan sistem self-assessment yang dikombinasikan dengan verifikasi oleh pendamping desa.

Meskipun ini tampak sebagai cara yang praktis dan efisien di atas kertas, dalam praktiknya, pendekatan ini seringkali menghadapi berbagai tantangan, yang berpotensi mengurangi keandalannya.

Self-assessment, meskipun memberikan fleksibilitas bagi BUMDes, sering kali tidak independen.

Penilaian mandiri oleh pengelola BUMDes bisa jadi cenderung subjektif dan bias, baik karena keterbatasan pemahaman terhadap kriteria penilaian maupun karena keinginan untuk menghasilkan nilai yang lebih baik dari yang sebenarnya.

Dalam banyak kasus, pendamping desa yang ditugasi untuk memverifikasi hasil self-assessment ini juga memiliki keterbatasan dalam hal independensi dan kapasitas, menghasilkan hasil verifikasi yang kurang valid dan tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya.

Selain itu, tingkat partisipasi dalam pemeringkatan BUMDes juga relatif rendah.

Banyak BUMDes enggan ikut serta dalam proses ini karena merasa bahwa tidak ada insentif yang cukup untuk melakukannya atau karena prosedur administrasi yang dirasakan sebagai beban.

Rendahnya partisipasi ini mengakibatkan pemeringkatan yang tidak representatif dan menyulitkan evaluasi serta perbaikan yang berkelanjutan.

Untuk mengatasi kelemahan dari metode pemeringkatan yang ada, diperlukan mekanisme yang lebih independen dan valid.

Pelibatan pihak ketiga yang lebih profesional dan berpengalaman dalam proses verifikasi dapat membantu meningkatkan objektivitas dan kualitas pemeringkatan.

Disamping itu, memberikan insentif yang lebih jelas kepada BUMDes untuk berpartisipasi dalam pemeringkatan dapat meningkatkan keterlibatan dan akurasi dari hasil penilaian.

Dengan demikian, proses pemeringkatan dapat menjadi alat yang lebih efektif untuk mengevaluasi dan meningkatkan kinerja BUMDes secara menyeluruh.

Minimnya Pengembangan Kapasitas Pengelola

Bumdes atau Badan Usaha Milik Desa merupakan salah satu pilar penting dalam mendorong kemandirian desa.

Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah minimnya pengembangan kapasitas pengelola BUMDes.

Kebanyakan pengelola BUMDes memiliki latar belakang pendidikan yang rendah dan kurang memiliki keterampilan bisnis yang memadai, sehingga kemampuan mereka dalam menjalankan tugas secara efektif menjadi terbatas.

Situasi ini diperburuk oleh kurangnya program pelatihan yang spesifik dan tepat guna, sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.

Pelatihan yang ada seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan aktual pengelola BUMDes. Materi pelatihan yang diberikan sering kali terlalu teoritis dan tidak praktis atau operasional.

Program pelatihan yang lebih sesuai, seperti pelatihan manajemen keuangan, pemasaran digital, atau produksi dan peningkatan kualitas produk lokal, cenderung langka dan belum terstruktur dengan baik.

Selain itu, frekuensi pelatihan yang jarang juga menyebabkan pengelola tidak mendapatkan pembaruan pengetahuan dan keterampilan yang kontinu.

Tantangan lainnya adalah keterbatasan akses terhadap informasi dan teknologi.

Pengelola BUMDes sering kali tidak memiliki akses yang memadai untuk mengembangkan pengetahuan mereka lebih jauh atau mengadopsi teknologi baru yang dapat membantu mereka dalam operasional sehari-hari.

Tanpa pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta akses terhadap teknologi, sulit bagi mereka untuk merancang strategi bisnis yang efektif dan berkelanjutan.

Untuk mengatasi kendala ini, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk menyelenggarakan program pelatihan yang lebih relevan, praktis, dan berkesinambungan.

Pengelola BUMDes juga perlu didukung dengan akses yang lebih baik terhadap teknologi dan informasi.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pengelola BUMDes, sehingga mereka dapat lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi desa dan mencapai kemandirian yang diharapkan.

Langkah Maju untuk BUMDes

Untuk mewujudkan desa yang mandiri dan sejahtera, langkah-langkah strategis perlu diambil guna mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah mispersepsi antara pemerintah dan pengelola BUMDes tentang keberhasilan dan kinerja.

Penyelarasan persepsi ini adalah langkah awal yang krusial, dengan dialog terbuka dan transparansi informasi menjadi elemen kunci dalam proses ini.

Selain itu, revisi regulasi diperlukan untuk menetapkan indikator kinerja yang lebih spesifik dan relevan.

Indikator ini harus mampu mencerminkan perkembangan nyata dan dampak positif yang BUMDes bawa kepada masyarakat desa.

Indikator kinerja yang lebih terukur ini akan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang performa BUMDes dan menjadi alat evaluasi yang efektif.

Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang objektif, metode pemeringkatan BUMDes perlu diperbaiki dengan melibatkan verifikator independen.

Verifikasi oleh pihak ketiga ini memastikan bahwa penilaian dilakukan secara fair dan transparan, serta menghindari benturan kepentingan yang dapat merugikan BUMDes.

Peningkatan kapasitas pengelola BUMDes juga menjadi hal yang esensial.

Pengembangan kapasitas yang terstruktur melalui kurikulum pelatihan yang sesuai dan pembelajaran daring merupakan solusi jangka panjang yang dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pengelola BUMDes.

Pelatihan yang bersifat praktis dan berkelanjutan akan mempersiapkan mereka untuk mengatasi berbagai tantangan operasional dan mengoptimalkan berbagai peluang usaha.

Melalui penyelarasan persepsi, revisi regulasi, metode pemeringkatan yang lebih akurat, dan pengembangan kapasitas yang terstruktur, diharapkan potensi BUMDes dapat tergali dengan maksimal.

Upaya kolaboratif ini membuka jalan bagi terciptanya desa yang mandiri dan sejahtera, membuktikan bahwa BUMDes bisa menjadi motor penggerak ekonomi lokal yang handal dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Setelah satu dekade berlakunya Undang-Undang Desa, kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih memerlukan perhatian yang serius.

Banyak BUMDes yang menghadapi berbagai tantangan yang menghambat kemampuan mereka dalam memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan desa.

Salah satu kendala utama adalah persepsi kinerja yang belum selaras antara berbagai pihak yang berkepentingan.

Oleh karena itu, penyelarasan persepsi ini sangat penting untuk menciptakan kesepahaman bersama mengenai target dan indikasi keberhasilan BUMDes.

Selain itu, regulasi BUMDes perlu diperbaiki dan disesuaikan dengan dinamika pembangunan desa.

Regulasi yang jelas dan implementatif dapat memberikan arahan yang tepat demi tercapainya tujuan dari pembentukan BUMDes itu sendiri.

Hal ini mencakup penyusunan peraturan yang tidak hanya mendorong pengembangan bisnis yang prospektif tetapi juga menjaga agar operasi BUMDes tetap sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang baik dan berkelanjutan.

Peningkatan kapasitas pengelola BUMDes juga merupakan aspek yang tidak bisa diabaikan.

Pengelola BUMDes memerlukan pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan agar dapat menjalankan tugas mereka dengan lebih efektif dan efisien.

Peningkatan kapasitas ini mencakup pengembangan keterampilan manajerial, pemahaman terhadap pasar, dan kemampuan dalam menjalin kemitraan strategis dengan berbagai pemangku kepentingan.

Dengan langkah-langkah konkret semacam ini, diharapkan BUMDes dapat menjadi ujung tombak dalam mewujudkan desa yang mandiri dan sejahtera.

Desa yang memiliki BUMDes yang berhasil dapat menunjukkan kemampuannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan ekonomi lokal, pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan, dan peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan.

Implementasi UU Desa yang lebih efektif dan efisien, disertai dengan penanganan terhadap tantangan-tantangan yang ada, sangat penting untuk mencapai tujuan bersama dalam mewujudkan desa yang mandiri dan makmur di seluruh Indonesia. (*)

Pos terkait