OPINI, suluhdesa.com | Dilema estetika lingkungan dihadapkan paling tidak pada dua persoal utama yaitu, pertama, ketergantungan pada pembangunan yang bersumber dari industry penyumbang sampah. Kedua, kesehatan lingkungan akibat penataan ruang yang tidak estetik.
Oleh: Charles Jama
(Dosen Seni dan Koprodi S-2 Ilmu Linguistik Universitas Nusa Cendana)
Belum terlalu lama kita memperingati hari sampah sedunia. Dalam rangka memperingati hari sampah ini, baik pemerintah Provinsi maupun Kota dan Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) menginstruksikan warganya untuk membersihkan lingkungan. Di rumah ibadah maupun lembaga pemerintahan di bawahnya seperti RT/RW instusksi ini disampaikan baik lisan maupun surat yang diedar melalui grup whatsaap.
Anak-anak sekolah, mahasiswa, guru dan dosen dalam memperingati hari sampah sedunia ini, melakukan aksi pembersihan sampah disekitar lingkungan belajar mereka. Para aparatur sipil negara (ASN) dan tenaga honorer turun ke jalan untuk memberishkan sampah-sampah yang berserakan. Aksi pembersihan yang dilakukan ini adalah bentuk kesadaran dan kecintaan terhadap lingkungan. Aksi baik ini diharapkan akan terus berlanjut dalam kehidupan keseharian masyarakat kita. Gerakan membersihkan sampah ini muda-mudahan bukan hanya untuk popularitas. Dalam estetika disebut seni popular atau temporer. Meledak pada masanya kemudian akan hilang.
Estetika Lingkungan: Mendorong Kesadaran Aksi
Penciptaan sebuah karya seni tidak terlepas dari inspirasi yang bersumber dari lingkungan. Banyak seniman berkarya dengan focus pada tema-tema lingkungan. Sigit Purnomo Adi misalnya memanfaatkan sampah sebagai bahan dasar karya seninya. Aim Pranamantara seorang seniman lukis NTT, karya-karyanya sealu terispirasi dari lingkungan budaya NTT. Felix Edon seorang musisi asal Manggarai banyak mengangakat tema lingkungan dalam lagu-lagu daerahnya. Demikian pun Daniel Watu seorang maestro foi doa asal Ngada banyak menciptakan alat musik dari bambu.
Masih banyak lagi seniman lain di daerah ini memiliki karya berbasis lingkungan. Karya-karya mereka ini merupakan bentuk kesadaran dan respons rasa estetika terhadap lingkungan. Melalui karya-karya seni, mereka beraksi nyata dalam merawat lingkungan.
Karya seni dan lingkungan saling mengandai. Lingkungan membentuk konsep berkarya seniman, sebaliknya karya seniman mengonstruksi lingkungan. Resepsi yang diterima seniman dari lingkungan menjadi inspirasi dalam berkarya. Hasil kreativitas dan imajinasi yang mereka miliki, dalam bentuk karya itu dapat dibaca sebagai kritikan atau sebuah apresiasi.
Karya seni berbentuk kritik disebabkan oleh ada kesenjangan dalam imajinasi dan idealisme seniman dengan realitas yang terjadi dalam lingkungannya. Misalnya, sampah yang berserakan, lokasi sampah yang dekat dengan pemukiman warga, lokasi sampah yang dekat dengan lingkungan sekolah, atau ruang public lainnya. Kondisi lingkungan seperti inilah yang menjadi sorotan seniman dalam kritik melalui karya seni. Seniman memiliki kepekaan bawaan, keadaan seperti ini menggangu rasa estetik mereka.
Gejolak batin seniman yang bersifat kritikan, muncul bukan hanya karena setiap kita merasa terganggu. Akan tetapi, rasa estetik pada dirinya yang mendorong mereka untuk memperbaiki keadaan lingkungannya. Termasuk memberi apresiasi terhadap lingkungan yang asri.
Lingkungan yang asri kerap mendorong seniman untuk berkarya. Hasil karya seni yang demikian merupakan bentuk apresiasi seniman terhadap lingkungan dan masyarkatnya. Ketika seniman mencipta untuk apresiasi, rasa senang atau gembira terbaca dari visual dan audio yang dilihat maupun yang didengar. Dengan demikian ekspresi seniman juga akan memberi dampak bagi penikmatnya. Seperti terlibat dalam aksi-aksi yang riil untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya.
Karya seni, baik yang kritik maupun apresiasi sama-sama memberi dampak bagi penikmatnya.
Dilematika Estetika Lingkungan
Suatu ketika, Tisna Sanjaya seorang seniman dan akademisi di Institut Teknologi Bandung membuat sebuah karya seni. Ia menginstalasi hasil limbah atau sampah yang diproduksi oleh salah satu perusahaan asing dari Jepang di Bandung. Hasil karyanya itu dipamerankan pada sebuah ivent seni di Jepang. Ketika ditanya apa maksud dari karya ini? Ia menjawab, ini adalah hasil limbah dari pabrik negara anda yang ada di Indonesia.
Kita selalu berhadapan dengan dua realitas yang oposisioner. Satu sisi kita mengidamkan percepatan pembangunan dan kesejahteraan. Sisi yang lain untuk sampai ke sana kita berhadapan dengan realitas yang tidak ideal. Misalnya, pembangunan industry yang menyerap tenaga kerja untuk kesejahteraan rakyat. Dari industri ini negara memperoleh pajak untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan. Selain menyumbang perekonomian, industry semacam ini juga menyumbang kerusakan terhadap lingkungan. Namun industry yang dibangun itu justru penyumbang sampah yang tidak ramah lingkungan.
Kota Kupang saat ini diperhadapkan dengan persoalan yang sama. Berbagai kegiatan usaha cukup pesat di kota ini. sMeskipun tidak secara langsung memperoleh pajak dari penjualan makanan kemasan, pemerintah mendapat pemasukan dari pajak usaha pedagang. Kemasan makanan terutama yang terbuat dari plastik ini memberi pemandangan yang tidak sedap. Perhatikan saja hampir disetiap ruas jalan di kota ini terdapat sampah plastik dari makanan kemasan.
Kota Kupang sebagai titik sentral di Provinsi ini jelas mendapat perhatian public. Baik yang datang dari luar Provinsi ini maupun masyarakat NTT sendiri. Kota ini menjadi pembanding dengan kota-kota lain di NTT. Ia menjadi tolok ukur kemajuan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Karena itu kota ini memiliki tanggung jawab yang besar termasuk kebersihan lingkungannya. Orang baru yang datang ke NTT melalui pintu Kota Kupang memiliki kesan baik terhadap NTT apabila kota ini terlihat bersih. Sebaliknya, citra buruk akan muncul ketika melihat realitas pemandangan sampah di mana-mana.
Pemandangan yang buruk akibat sampah plastik dan sejenisnya juga memberi dampak tidak baik terhadap kesehatan. Sampah-sampah ini berpengaruh langsung kepada kesehatan manusia dan keberlangsungan mahluk lain disekitarnya. Demikian juga makanan kemasan yang dikonsumi dapat mengganggu kesehatan manusia karena di dalamnya mengandung zat pengawet.
Tentang estetika lingkungan di kota ini, kita dapat melihat dan merasakan situasi sepanjang jalan dari bandara udara El Tari sampai bundaran Tirosa. Di sana banyak sampah berserakan. Sampah itu berasal entah itu dari mereka yang melintasi jalan atau mereka yang sedang berolahraga. Lebih buruk lagi mereka yang sengaja membuang sampah disepanjang jalan ini.
Persoalan sampah di kota ini memang tidak pernah akan habis apabila, seluruh elemen masyarakat tidak menyadari pentingnya menjaga estetika lingkungan yang tentunya akan berdampak pada kesehatan warganya.
Dilematika estetika lingkungan itu juga cukup dipengaruhi oleh penataan letak tong sampah. Penataannya tidak memperhatikan estetika lingkungan dan tidak memberi kesadaran aksi menjaga kebersihan.
Ruang hijau sepanjang trotoar yang telah dibangun dengan anggaran yang tinggi tidak ditata untuk memberi kesan estetik dan kesadaran terhadap aksi. Ruang hijau yang ditumbuhi pohon gamal itu diresepsi sebagai tempat untuk membuang sampah.
Padahal, jika sepanjang ruas jalan ini ditata dengan baik, dibuatkan taman, maka setiap orang yang melintasinya enggan membuang sampah sembarangan. Bahkan dapat menimbulkan aksi pembersihan sampah secara spontanitas, tidak harus menunggu hari sampah sedunia.
Dilema estetika lingkungan dihadapkan paling tidak pada dua persoalan utama yaitu, pertama, ketergantungan pada pembangunan yang bersumber dari industry penyumbang sampah. Kedua, kesehatan lingkungan akibat penataan ruang yang tidak estetik. (*)