EDITORIAL, Suluhdesa.com – Tanggal 25 April 2025, Kota Kupang merayakan dua peristiwa penting: Hari Ulang Tahun ke-139 sejak berdirinya dan HUT ke-29 sebagai daerah otonom. Di halaman Kantor Wali Kota Kupang, peringatan ini berlangsung dalam nuansa khidmat, sekaligus reflektif. Tidak sekadar seremoni, momen ini menjadi ruang bersama untuk menakar ulang perjalanan otonomi, serta menafsirkan ulang maknanya di tengah tantangan zaman.
Wali Kota Kupang, dr. Christian Widodo, dalam pidatonya menekankan bahwa otonomi bukan semata perihal kewenangan administratif. Ia bukan sekadar hasil desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah, tetapi harus dimaknai sebagai sarana untuk menghadirkan pelayanan publik yang lebih dekat, responsif, dan manusiawi. Dengan mengangkat motto “To govern is to serve – memerintah adalah melayani”, Wali Kota Kupang mengajak seluruh elemen pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan etika pelayanan sebagai roh dari pemerintahan lokal.
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi mengandung perubahan paradigma yang mendalam. Dalam konteks birokrasi kita yang masih kerap terjebak dalam rutinitas administratif dan hierarki kekuasaan, menjadikan pelayanan sebagai inti pemerintahan adalah langkah revolusioner. Apalagi dalam masyarakat yang selama ini lebih banyak menjadi objek daripada subjek pembangunan.
Refleksi Otonomi di Kupang
Kupang bukan kota yang besar. Ia tidak sepopuler Denpasar atau Makassar. Namun, sebagai ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang memegang peran strategis. Di kota ini, kita menyaksikan denyut harapan dan tantangan pembangunan daerah secara bersamaan. Angka kemiskinan, pengangguran terbuka, akses air bersih, serta pengelolaan sampah masih menjadi pekerjaan rumah yang terus dihadapi dari tahun ke tahun.
Namun, yang menarik dari pidato Wali Kota bukan sekadar daftar capaian, melainkan pendekatan yang ditawarkan: membangun karakter pemerintah yang kolaboratif, adaptif, dan melayani. Kolaboratif berarti pemerintah tidak lagi bekerja sendiri, tetapi membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan komunitas. Adaptif berarti tidak kaku terhadap perubahan, apalagi di era digital dan disrupsi iklim. Dan melayani berarti menjadikan warga sebagai pusat dari setiap kebijakan.
Tiga nilai ini penting untuk digarisbawahi. Ia tidak hanya cocok untuk Kupang, tetapi juga relevan secara nasional, di tengah maraknya kasus penyalahgunaan otonomi yang justru menjauhkan pemerintah dari rakyat. Ketika otonomi disalahartikan sebagai “kemerdekaan pejabat lokal untuk berkuasa tanpa kontrol”, maka nilai-nilai ini menjadi kompas moral yang harus terus dijaga.
Capaian dan Tantangan
Secara konkret, Pemerintah Kota Kupang mencatat sejumlah kemajuan. Akses sanitasi rumah tangga telah mencapai hampir 80 persen, dan perbaikan infrastruktur jalan melampaui 62 persen. Perputaran ekonomi lokal mulai bergerak pasca pandemi, ditunjukkan lewat event seperti pawai Paskah yang melibatkan lebih dari 300 UMKM dan menghasilkan perputaran uang hingga 2-3 miliar rupiah per hari. Ini bukan angka kecil bagi skala ekonomi daerah seperti Kupang.
Wali Kota juga menekankan pengelolaan sampah sebagai prioritas. Sebuah roadmap telah disusun dan fasilitas pengolahan sedang dipersiapkan. Tak hanya berhenti di tataran teknokratis, ia juga meminta camat dan lurah mensosialisasikan rencana ini hingga ke tingkat RT. Ini menunjukkan upaya mengintegrasikan kebijakan dengan kesadaran sosial di tingkat akar rumput.
Namun, tantangan tentu tak berhenti. Pengelolaan sampah misalnya, masih menyisakan banyak persoalan teknis dan kesenjangan perilaku. Pendidikan lingkungan belum sepenuhnya meresap di kesadaran warga. Masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi juga belum terselesaikan secara menyeluruh. Tapi langkah awal yang ditunjukkan oleh pemerintah kota sudah berada di jalur yang benar.
Otonomi yang Humanis
Apa yang dilakukan Kupang sesungguhnya adalah praktik otonomi yang lebih manusiawi. Otonomi yang mengakui kompleksitas lokal dan mencoba menyelesaikannya dengan pendekatan kolaboratif. Di tengah maraknya politik elektoral yang penuh janji dan gimmick, Kupang menunjukkan bahwa kerja sunyi pemerintahan juga penting untuk diapresiasi.
Hal yang juga patut dicatat adalah perhatian terhadap dimensi sosial-kemanusiaan. Dalam momen peringatan HUT Kota, diserahkan bantuan sosial, beasiswa, santunan kematian, dan penghargaan kepada para PNS yang telah purna tugas. Ini bukan sekadar simbol, melainkan pengakuan bahwa negara juga harus hadir saat warga mengalami masa-masa sulit dan penuh kehilangan.
Jika dulu otonomi identik dengan pembangunan fisik—jalan, gedung, dan infrastruktur—maka kini Kupang sedang mencoba memperluas definisi itu. Otonomi juga berarti membangun karakter ASN, merawat budaya lokal, dan menumbuhkan kepedulian sosial. Wali Kota bahkan menutup sambutannya dengan pesan yang menyentuh: bahwa pembangunan sejati harus menyasar karakter, budaya, dan harmoni sosial, bukan hanya beton dan aspal.
Menuju Masa Depan
Visi lima tahun ke depan Kota Kupang adalah menjadikan pemerintahan sebagai instrumen utama pelayanan. Ini bukan pekerjaan satu malam. Ini butuh konsistensi, pengawasan masyarakat, dan keberanian untuk menolak praktik lama yang tidak relevan. Tapi jika nilai-nilai yang telah digariskan itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, Kupang berpeluang menjadi model baru pemerintahan lokal yang progresif namun membumi.
Kutipan Latin yang diangkat oleh Wali Kota—Ubi concordia ibi victoria (Dalam persatuan, di sanalah kemenangan)—bukan hanya pepatah indah. Di tengah fragmentasi sosial yang makin dalam akibat politik identitas dan disinformasi, semangat persatuan lokal adalah fondasi keberlanjutan. Kupang mengajak kita semua untuk menjadikan kota sebagai ruang bersama, bukan medan kuasa.
Kini, tantangan berikutnya adalah menjaga semangat itu tetap hidup setelah seremoni usai. Agar otonomi tidak kembali menjadi jargon, tetapi tetap menjadi alat perubahan nyata. (*)