Oleh: Giorgio Babo Moggi *) Kita harus akui bahwa Bali adalah barometer pengelolaan bidang pariwisata di Indonesia. Ini tak terlepas dari sejarah panjang pariwisata Bali yang dimulai di awal 1900-an hingga sekarang ini. Penakuan di atas menyebabkan Bali menjadi referensi pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata. Nusa Tenggara Timur meniru dan melabeli diri sebagai “New Bali” – meskipun sematan ini hemat penulis kurang tepat. Karena secara karakteristik Bali dan Nusa Tenggara Timur sangat berbeda. Misalnya, Bali tradisi budaya yang homogen, sementara NTT memiliki kekayaan budaya yang sangat heterogen. Terlepas perdebatan sematan untuk NTT di atas, penulis mengakui komitmen dan konsistensi Bali merata hampir di semua pemerintah kabupaten/kota. Mereka sealur dalam merumuskan grand design pembangunan dimana pariwisata menjadi leading sector pembangunan di pulau seribu pura ini. Penulis tinggal di Denpasar lebih kurang selama enam bulan (2012) untuk alasan Pre Departure Training – persiapan studi di Australia. Dalam kurung waktu tersebut, penulis mengamati, menemukan dan menyaksikan konsistensi dan komitmen Bali baik pemerintah maupun masyarakat sangat nyata dalam mengelola pariwisata. Setiap kabupaten/kota memiliki obyek wisata unggulan, infrastruktur dibangun dan masyarakatnya sangat welcome. Keberagaman tema wisata dan keramahtamahan masyarakat (hospitality) menciptakan kenyamanan bagi para wisatawan. Konsistensi dan komitmen menjadi salah satu poin kesimpulan penulis usai mengikuti Sidang Terbuka S3 Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, yang disiarkan secara live dari Balairung Univeristas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jumat (22/10/2021). Doktor Viktor mengamati pariwisata NTT sebagai jalan keluar untuk menanggalkan stigma miskin yang melekat dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak jaman kemerdekaan. Menurut Laiskodat (2021), NTT sebagai sebuah paradoks. NTT dibilang miskin, tapi alam, flora, fauna dan sumberdaya manusianya kaya. Sejatinya jika NTT kaya, maka NTT harusnya tidak ada dalam daftar provinsi termiskin. Berdasarkan pengalaman praktis ketika melakukan travelling ke sejumlah negara di Eropa, kemudian melakukan riset terhadap 45 obyek wisata, Gubernur NTT ini melihat pariwisata dapat dijadikan sebagai potensi dan dapat dijadikan sebagai lokomotif atau dalam terminologi politisnya (janji kampanye yang kemudian dituangkan kedalam RPJMD) disebut dengan prime mover (penggerak utama) pembangunan Nusa Tenggara Timur. Viktor-Josef memamandang pariwisata tidak soal obyek atau daya tarik wisata belaka, pariwisata melingkupi rantai nilai pariwisata – adanya supply and demand. Dengan kata lain, berbicara pariwisata akan berbicara pula sektor lain seperti pertanian, peternakan dan perikanan. Alasan inilah, masa kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 menetapkan pariwisata sebagai penggerak utama pembangunan. Memang dalam sejarahnya, geliat pariwisata NTT bukan baru terjadi sekarang ini. Tahun 1980-1990-an, pariwisata sempat booming di Flores. Komodo, Kelimutu dan Taman Bawah Laut Waira menjadi destinasi wisata populer kala itu. Kampung Moni berubah menjadi kampung bule. Masyarakatnya mulai berbicara satu dua kata bahasa Inggris. Adanya tragedi gempa Tsunami yang memporak-porandakan Flores, jumlah wisatawan mengalami penurunan tajam. Keadaan pariwisata kemudian berangsur-angsur pulih. Potensi-potensi pariwisata yang tersembunyi (belum dikenal) mulai dieksplorasi sehingga bermunculan destinasi-destinasi baru. Pariwisata NTT kian populer seiring dengan perkembangan media online dan media sosial seperti Facebook, Instagram dan YouTube. Tapi, pertanyaannya, mengapa laju perkembangan pariwisata NTT lambat? Mengapa pariwista belum bisa menjadi daya ungkit bagi kesejahteraan masyarakat di Nusa Tenggara Timur? Atau, secara ekstrim, mengapa NTT terus masuk kategori miskin sementara memiliki potensi pariwisata yang sangat luar biasa? Gubernur NTT telah menempuh langkah politis dan kebijakan publik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan menetapkan pariwisata sebagai prime mover pembangunan. Langkah ini seharusnya diikuti oleh pemerintah kabupaten/kota seluruh NTT. Karena apa? Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memiliki isu yang sama, yakni stigmatisasi kemiskinan dan miliki potensi alam yang luar biasa. Selain itu, pembangunan sektor pariwisata tidak bisa dilaksanakan secara parsial. Pembangunan dan pengembangan pariwisata harus dilakukan secara menyeluruh atau komprehensif. Dan, jika berbicara pariwisata yang komprehensif, maka pariwisata menjadi domain semua stakeholders, pemerintah, masyarakat, dan swasta. Dan, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi harus bergerak seirima menuju visi yang sama atau meminjam istilah Doktor Laiskodat (2021) perlu adanya “KOLABORASI” antar stakeholders. Kolaborasi berarti penyatuan energi, tenaga dan peningkatan kemampuan untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Kolaborasi menggambarkan proses penyelesaian pekerjaan yang melampaui batas seperti batas wilayah, negara dan kewenangan. Proses tersebut harus melibatkan proses komunikasi yang transparan dan saling percaya (trust). Semua pihak yang berkolaborasi harus memperoleh informasi yang sama, serta dapat memberikan gagasan dan umpan balik (feedback). Kolaborasi melibatkan pengambilan keputusan bersama (decision making), di mana aturan keputusan (decision rules) dipahami oleh semua orang dan semua pihak yang terlibat. Kolaborasi merupakan tindakan koordinasi yang konstruktif yang dilakukan secara langsung sehingga dapat menghasilkan suatu bentuk kesepakatan atau keputusan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Lalu, seperti apa dan bagaimana kolaborasi dalam konteks pembangunan sektor pariwisata? Pertama, semua pemimpin daerah, masyarakat dan stakeholders harus menyadari akan potensi alam, flora, fauna dan sumber daya manusia yang luar biasa ini. Pemahaman itu dimulai dengan tidak mengkotak-kotakan seperti sasando itu milik orang Rote, Komodo itu punya orang Manggarai Barat, atau Bena itu punyanya orang Ngada. Cara pandang (mind set) pemimpin daerah dan masyarakat harus diubah. Sebagai contoh, Komodo itu milik orang NTT yang ada di Manggarai Barat, sasando itu alat musik khas NTT yang diciptakan orang Rote, atau Bena itu kampung tradisional NTT yang terdapat di Ngada. Ini sebenarnya sebagai salah satu contoh permainan pikiran (mind games) – bagaimana kita menciptakan NTT sebagai branding pariwisata sama halnya orang menyebut Bali untuk keseluruhan potensi yang ada di dalamnya – meskipun sesampai di Bali orang akan menyebutkan lokasi obyek wisata berdasarkan wilayah kabupaten/kota. Dengan kata lain, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakatnya harus menaikan cara pandang satu tingkat setara dengan Pemerintah Provinsi NTT. Pemerintah NTT akan memandang Komodo itu milik NTT, Kelimutu itu kebanggaan orang NTT dan seterusnya. Artinya apa? Cara pandang itu turut memberikan andil dalam berkolaborasi. Bagaimana antar pemerintah daerah bisa berkolaborasi jika cara pandangnya masih sektoral? Masih ada yang berpikir ini urusan kami, itu urusan kamu. Kedua, itulah sebabnya beda kolaborasi dan kerjasama. Kerjasama hanya mungkin dilakukan dengan orang-orang yang memiliki kesepahaman yang sama, sebaliknya kolaborasi bisa dilakukan dengan siapa saja – musuh sekalipun. Kerjasama hanya dapat dilakukan oleh sebelah pihak, sedangkan kolaborasi dilakukan oleh semua pihak. Bisa pula kerjasama hanya mencapai tujuan satu pihak tetapi menguntungkan semua pihak, sedangkan kolaborasi mengusung tujuan bersama untuk keuntungan bersama. Dengan demikian kolaborasi memiliki dimensi lebih luas. Karena itu kolaborasi lebih tepat sebagai model pembangunan pariwisata di NTT. Sebagai contoh, dengan sistem politik kita, sinergitas antar pemerintah sering tidak terarah, masing-masing mempertahankan ego politik. Sebagai contoh, jika gubernurnya warna politik merah dan bupati warna politik biru akan tidak ketemu dalam merencanakan pembangunan. Program pembangunan lebih diarahkan kedalam konflik ego politik. Padahal, secara teknokratis, pendekatan perencanaan ego politik itu tak berlaku – siapapun pemimpin adan apapun programnya diarahkan untuk kepentingan masyarakat banyak (bonnum commune). Perbedaan aliran politik inilah yang sering membedakan satu dengan yang lainnya, tetapi dengan kekuatan kolaborasi akan mempertemukan dan mengarahkan pihak yang berbeda pandangan politik menuju tujuan yang sama. Ketiga, untuk memperkokoh kolaborasi sebagai pilar pembangunan pariwisata diperlukan langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang elaboratif. Kolaborasi yang dibangun harus digarap secara cermat, tekun dan konsisten serta berkesinambungan sekalipun pergantian rezim kepemimpinan. Gubernur NTT telah membuktikan tesisnya, “pariwisata sebagai prime mover pembangunan”. Ini bukan pernyataan politis, tetapi sebuah kajian akademik. NTT memiliki kekayaan alam (non tambang) adalah kenyataan. Sayangnya, kekayaan tersebut belum dikelola secara baik sehingga stigma kemiskinan menjadi harga mati untuk NTT setiap tahun. Pariwisata belum dipandang sebagai multiplier effect terhadap kemajuan pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Nah, Doktor Laiskodat (2021), membuktikan secara akademik dan didukung pengalaman empiriknya (perjalanan wisatanya) bahwa pariwisata adalah lokomotif yang dapat menggerakan sektor pembangunan di NTT. Inilah satu-satunya cara untuk memutus mata rantai kemiskinan di Nusa Tenggara Timur karena kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa – alam, flora, fauna dan sumber daya manusia tetapi belum dikelola secara optimal. (*) *) Warga Liliba – Kota Kupang