SULUH DESA | Franz Magnis Suseno mengkritik keras dinamika politik Indonesia, menyebutnya brutal demi kekuasaan. Dalam konteks pilkada 2024, elit politik terlihat aktif membentuk koalisi, namun tanpa gagasan strategis yang mengedepankan kepentingan rakyat. Korupsi yang merajalela menjadi tantangan besar, mengungkap sisi gelap kekuasaan yang perlu dihadapi. Para kandidat harus berkomitmen pada nilai-nilai sosial dan antikorupsi agar dapat memperjuangkan keadilan bagi masyarakat.
Oleh: Yohanes De Deo Laki
Franz Magnis Suseno memberi tamparan yang sangat keras terhadap dinamika politik di Indonesia, ‘politik Indonesia begitu brutal demi kekuasaan.’ ‘Kekuasaan mempunyai sisi hitam yang bisa memabukkan dan membuat orang terperosok’.
Demikian tulisan Budiman Tanuredjo dalam Kompas edisi 28 Mei 2024.
Menjelang pemilihan kepala (pilkada) 27 November 2024, kebanyakan elitis partai politik mulai menjajaki pembentukan koalisi.
Terhitung sejak awal tahun 2024 hingga hari ini telah terbentuk koalisi-koalisi yang bertarung di daerah masing-masing baik daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Sejarah juga akan mencatat tahun 2024 sebagai pergelaran kontestasi paling akbar di Indonesia.
Pemilihan kepala daerah secara serentak, diikuti sekitar 545 provinsi, kabupaten, dan kota.
Penjajakan partai politik pun terlihat dinamis. Lobi-lobi politik terus dilakukan pengurus partai.
Khusus pilkada Provinsi NTT sudah resmi tiga pasangan calon yang mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ada pasangan Emanuel Melkiades Laka Lena-Johanis Asadoma, Simon Petrus Kamlasi-Adrianus Garu, dan Yohanes Fransikus Lema-Jane Natalia Suryanto.
Ketiga paslon ini berorasi dengan retorika yang memikat hati rakyat.
Semua komitmen diungkapkan dengan penuh animo yang berkoar-koar.
Seperti yang diulas Budiman Tanuredjo pada rubrik politik dan hukum dengan judul tulisan Politik “Wira-Wiri,” (Kompas, 26 Agustus 2023).
Jurnalis senior Kompas ini mengamati gerak-gerik partai politik seolah-olah menempatkan rakyat sebagai penonton keambrukan politik tanah air.
Elite politik loncat dari kiri ke kanan.
Pindah dari satu partai ke partai lain. Hari ini berlabuh ke partai A, besok sudah pindah ke partai B.
Dari pengamatan pemimpin redaksi Kompas (2014-2018) ini dapat disimpulkan bahwa politik itu bukan permainan, bukan kontentasi yang sehat, bukan ranah untuk menyejahterakan masyarakat.
Politik mengalami pembalikan yang luar biasa.
Politik serentak menjadi bisnis, sarana mencari nama, dan yang paling miris menjadi wadah untuk mencari kekuaasaan.
KBBI memberi definisi kepada kekuasaan dari perspektif hukum sebagai fungsi menciptakan kedamaian serta mencegah dan menindak ketidakdamaian atau ketidakadilan.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman berpendapat bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak untuk berkuasa (the will to power).
Pada diri manusia terdapat naluri dan hasrat terhadap kekuasaan.
Pemegang kekuasaan juga memiliki otoritas mengatur berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu, dan karena posisinya ini, kepadanya diberikan privelese, fasilitas, dan insentif.
Itulah sebabnya untuk konteks Indonesia para politisi sangat berhasrat untuk memegang kekuasaan tertentu.
Dan dari penelusuran selama ini, saya berani menyematkan koalisi partai politik di tahun politik ini sebagai sebuah anomali bangsa.
Entah apa yang dicari para elite politik menjajaki kerja sama politik.
Namun, di balik keriuhan itu, ada pertanyaan soal gagasan apa yang ditawarkan koalisi partai?
Saya mejajaki fakta bahwa dari koalisi-koalisi partai yang telah terbentuk ini tidak memantikkan isu-isu strategis yang dihadapi bangsa ini.
Mengapa tak ada koalisi partai yang dipersatukan dengan nilai atau semangat antikorupsi?
Mengapa isu antikorupsi, isu pelanggaran HAM, isu ketidakadilan sosial, dan isu keseteraan jender tak muncul dari politisi selain perburuan kekuasaan semata.
Khusus isi antikorupsi, saya teringat akan tanggapan salah satu dosen.
Ia berpendapat praktik politik yang kian mewabah di Indonesia memiliki tiga penyebab utama yakni kesempatan, jabatan yang melekat, dan sistem yang rapih.
Saya pun bertanya ada apa di dalam sistem itu.
Sitem itu ternyata ada di dalam konsep pemisahan trias politika, eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang saat ini diselanggarakan di Indonesia sebagai negara demokrasi.
Bahkan lebih miris lagi hakim saja berdiri di atas hukum.
Semua bergerak dalam kerapihan, bersih, transparan, dan sistematis.
Bagi mereka yang tidak rapih sekarang yang terciduk oleh KPK.
Sistem ini akan tetap ada selama Indonesia masih menjalankan sitem demokrasi.
Inilah yang akan menjadi pr besar bagi paslon mana pun.
Berdasarkan laporan hasil pemantauan tren korupsi tahun 2023 Indonesia Coruption Watch (ICW) yang dipaparkan pada Minggu (19/5/2024) di Jakarta, ditemukan adanya peningkatan kasus korupsi yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada 2023 terdapat 791 kasus korupsi dengan 1.695 orang ditetapkan sebagai tersangka. Pada 2022 terdapat 579 kasus korupsi dengan 1.396 tersangka.
Fatalnya lagi sebagian besar tersangka adalah mereka yang ada dalam tubuh pemerintah dan wakil rakyat.
Kasus ini akan menjadi rahasia publik bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang berpotensi mematikan sumpah dan etika mereka di atas teks.
Kalaupun gagasan srtategis itu diangkat, tetap ada ketulusan hati dari politisi. Dan bukan hanya habis di kata mesti nyata dalam tindakan.
Sebab kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat, bukan politisi dan partainya.
Para pemegang kekuasaan nantinya mesti termaktub dalam diri kesediaan untuk mengalah dan mengurungkan kepentingan pribadi demi kebutuhan sosial.
Hendaknya para kandidat yang bertarung meletakkan prinsip minum malum pada ambang setuntas-tuntasnya. (*)