Manggarai Timur, suluhdesa.com– Kisah pilu menimpa keluarga Bibian Rebia di Desa Lamba Keli, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tanah milik orang tuanya atas nama Yohanes Pas yang telah digarap sejak tahun 1958 kini diklaim oleh pihak Gereja Paroki Benteng Jawa. Keluarga tersebut merasa diperlakukan tidak adil dan meminta keadilan dari pemerintah dan pihak berwenang.
Menurut penuturan Bibiana Rebia, almarhum ayahnya, Yohanes Pas, telah menggarap lahan tersebut sejak tahun 1958 hingga ia meninggal dunia tahun 2021. Tahun 1981 Yohanes Pas mewariskan tanah tersebut kepadanya kemudian dibuktikan dengan surat jual beli pada tahun 2006.
Surat jual beli tanah dari Yohanes Pas kepada Bibiana Rebiak sebagai bukti kekuatan hukum sebagai hak atas tanah yang sebelumnya telah melalui persetujuan semua anak-anak Yohanes Pas.
Lahan tersebut telah menghasilkan berbagai jenis tanaman dan menjadi sumber penghidupan keluarga. Lahan tersebut juga berdampingan dengan lahan milik Tua Teno (pemilik tanah adat), yang selama ini tidak pernah mempersoalkan kepemilikan lahan Yohanes Pas. Keduanya hidup rukun dan tidak pernah ada masalah apapun termasuk dengan lahan tersebut.
Tragedi bermula setelah Yohanes Pas meninggal dunia pada tahun 2021.
Beberapa hari kemudian, pihak gereja datang dan mengklaim lahan tersebut, beralasan lahan itu telah diserahkan oleh seorang tokoh bernama Muhammad kepada pihak gereja untuk ditanami sayur.
Keluarga Bibiana Rebiak merasa terkejut dan kecewa karena sebelumnya tidak pernah ada komplain mengenai kepemilikan lahan tersebut. Tua Teno, yang memiliki wewenang penuh atas tanah secara adat, juga tidak pernah melarang Yohanes Pas alias Bapak Jon menggarap lahan tersebut.
Bapak Jhon menggarap tanah tersebut dikarenakan dirinya lahir dan besar di daerah tersebut, diamana setiap anak asli daerah berhak menggarap lahan disekitar daerah itu asal bukan lahan milik orang lain.
Bapak Jhon, memperoleh tanah saat itu dibagi oleh Dalu ( kini disebut Camat) termasuk tanah Gereja paroki Benteng Jawa. Dalu, saat itu juga memiliki hak atas tanah untuk dibagikan kepada setiap masyarakat sekitar.
Karena tidak ada titik temu, pihak gereja melaporkan masalah ini ke Camat Lamba Leda hingga berujung ke pengadilan. Pihak keluarga Bibiana Rebiak menduga ada kejanggalan dan ketidakadilan dalam proses ini.
Bibiana Rebiak juga mempertanyakan tawaran sejumlah uang dari pihak gereja sebagai ganti rugi, yang ditolak keluarga karena lahan tersebut merupakan hak milik turun-temurun.
“anehnya lagi, kalau pihak gereja menganggap tanah itu milik gereja, mengapa ada tawaran sejumlah uang kepada kami sebagai bentuk ganti rugi”, kesal mama Bibiana Rebiak saat menghubungi media ini, Rabu (5/3/25).
Keluarga Bibiana Rebiak meminta keadilan. Mereka meminta Camat, Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dan Pengadilan Negeri Manggarai, agar membantu menyelesaikan persoalan ini.
Kepada pihak gereja Paroki Benteng Jawa, Keuskupan Manggarai untuk tidak semena-mena menggunakan kekuasaan.
Bibiana Rebiak menduga ada intervensi oknum yang membuat keluarga mereka tidak nyaman.
Pengacara pihak Bibiana Rebiak, Marsel Ahang, melalui pesan WhatsApp kepada Bibiana Rebiak, menyampaikan bahwa pihak gereja telah memenangkan kasus ini, namun tidak menunjukkan bukti-bukti yang jelas.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan keadilan dalam penyelesaian sengketa tanah, khususnya yang melibatkan pihak gereja dan masyarakat adat.
Keluarga Bibiana Rebiak berharap agar kasus ini dapat diselesaikan secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak akan tinggal diam serta terus menyuarakan keadilan.**





