Hiperealitas Estetika Ruang Pariwisata Labuan Bajo

Hiperealitas Estetika Ruang Pariwisata Labuan Bajo

OPINI, Suluhdesa.comLabuan Bajo memikat dunia dengan keindahan laut dan eksotisme Komodo. Namun, di balik geliat pariwisata, tersembunyi eksploitasi ruang yang mem marginalkan masyarakat lokal dan merusak ekosistem. Karolus Budiman Jama mengajak kita menelaah hyperealitas tata ruang yang mengaburkan keadilan sosial, budaya, dan lingkungan di Labuan Bajo.

Oleh: Karolus Budiman Jama

Dosen Seni dan Koordinator Prodi S-2 Linguistik Pps Undana

 

Eksploitasi Laut: Hyperealitas Tata Ruang Yang Marginal

Labuan Bajo telah mendunia. Daerah di ujung barat Flores ini dikenal karena pulau-pulaunya yang indah, lautnya yang biru, jernih serta binatang purba Komodo. Hewan langka satu-satunya di dunia ini memiliki mitologi sebagai kembaran manusia. Mitologi ini menunjukkan bahwa ekosistem alam dan ruang-ruang hidup merupakan bagian dari manusia.

Pemandangan yang indah dan keunikan satwanya membuat Labuan Bajo digemari oleh wisatawan dari dalam negeri dan manca negara. Kota wisata ini hampir tidak pernah sepi dari kunjungan wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri.

Dampak yang dirasakan adalah adanya kemajuan pada bidang infrastruktur maupun ekonomi. Dan, daerah ini menjadi salah satu lokasi wisata premium di Indonesia. Di tengah kemajuan ini, muncul sebuah pertanyaan mendasar. Apakah dampak kemajuan pariwisata dan predikat premium ini telah memberi rasa keadilan? Baik bagi masyarakatnya secara sosial budaya, ekonomi maupun bagi lingkungan di sekitarnya.

Rasa-rasanya dan bahkan realitasnya, belum ada keadilan sebagai konsekuensi logis kemajuan pariwisata terhadap hal tersebut. Pariwisata Labuan Bajo hingga kini masih berkonsentrasi pada pulau, laut, dan binatang langka Komodo. Industri pariwisata di bawah Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo, Flores belum mengelola wilayah daratan secara maksimal. Wilayah daratan hanya sebagai wisata sekunder dan sifatnya hanya pelengkap.

Masyarakat lokal di daratan masih jauh dari sentuhan pariwisata, belum ada gejala yang kuat untuk memberdayakan masyarakat di daratan secara menyeluruh dalam membangun pariwisata, misalnya dalam bidang agrowisata dan ekowisata.

Pengelolaan pariwisata Labuan Bajo masih fokus pada eksploitasi alami laut, pulau-pulau, dan pesisir pantainya. Ekploitasi laut ini semakin masif dengan dibangunnya vila-vila di tengah laut. Beberapa ahli lingkungan secara kritis menilai pembangunan vila-vila di atas laut Labuan Bajo yang eksotik ini memberi dampak buruk bagi ekosistem laut. Misalnya, mengganggu pertumbuhan dan populasi spesies tertentu, rusaknya trumbu karang,

Selain memberi dampak buruk bagi ekosisten laut, tidak tertib dan tidak berkeadilannya tata ruang laut di Labuan Bajo membuat masyarakat lokal termarginal. Mereka tidak bisa menikmati pantai secara bebas, sekaligus mengontrol secara sosial-budaya karena semua ruang-ruang itu terkapitalisasi dan diprivatisasi. Hal ini juga berpotensi terjadinya pengambilan satwa langka untuk dibawa keluar dari habitatnya.

 Estetika Hyperealitas: Mengasingkan Wisatawan dari Laut

Estetika hyperealitas merupakan sebuah keindahan yang diproduksi secara artifisial. Produksi keindahan itu mengikuti sebuah model tertentu, dan pada gilirannya tampak seperti nyata dari pada yang nyata.

Pembangunan vila di atas laut Labuan Bajo adalah sebuah estetika hyperealitas. Sepintas ia memberi keindahan di atas laut, memberi sensasi bagi pengunjung. Seolah-olah mereka sedang menikmati keindahan surga. Akan tetapi sesungguhnya mereka menikmati sebuah sensasi keindahan yang palsu.

Ia palsu karena tidak memberi keadilan bagi ekosistem yang terdapat di dalam laut. Juga secara bersamaan memarginalkan masyarakat dan budaya yang ada di daratan. Pembangunan vila di laut bagi wisatawan adalah sebuah halusinasi estetis dari realitas.

Pembangunan vila di atas laut ini memberi kesan mendekatkan wisatawan dengan keindahan alam laut Labuan Bajo. Namun sesungguhnya, mereka sedang dijarakkan dari alam dan keindahan laut Labuan Bajo itu sendiri.

Memang ini ciri dari sebuh estetika hyperealitas. Tidak seperti estetika tradisional yang berpijak pada intuisi manusia, pengalaman langsung, atau alam. Estetika hyperealitas yang artifisial ini seolah memberi keakraban. Namun tidak dirasa bahwa kita sedang diasingkan. Diasingkan dari keindahan yang sebenarnya nyata ada.

Menikmati keindahan artifisial ini seperti menikmati reality show. Manusia terperangkap pada kesadaran dan emosi yang palsu. Menikmati keindahan laut di Labuan Bajo dengan vila-vila di atasnya seperti estetika yang tercipta dari sebuah simulasi, pemrograman, dan proses komputasional.

Estetika simulatif mengarahkan penikmatnya pada realitas tiruan yang ilutif. Ia begitu meyakinkan sehingga nyaris menggantikan realitas itu sendiri. Estetika ini menebas batas antara yang benar nyata dan buatan menjadi kabur.

Estetika ini dalam pandangan Jean Baudrillard memberi sebuah dunia atau objek seni yang kelihatannya lebih nyata dari kenyataan, dan bersamaan dengan itu penikmat terjebak dalam pengalaman otentik yang semu. Penikmat terperangkap dan terlarut dalam sebuah narasi yang disimulasikan. Manusia diperhadapkan pada dunia buatan yang diciptakannya sendiri.

Estetika tata ruang laut Labuan Bajo bertolak belakang dengan estetika normatif yang menjunjung standar atau norma tertentu. Misalnya, ada kriteria yang membuat karya seni menjadi “baik” secara estetis. Cirinya adalah mengusung keseimbangan atau harmoni. Keseimbangan dan harmoni yang dimaksud tidak semata tentang seni itu sendiri, tetapi dengan sesuatu yang ada di sekitarnya.

Estetika ini menekankan pada unsur etika dan moralitas. Maksudnya, karya seni itu dinilai indah jika mencerminkan nilai-nilai luhur. Tidak sekadar menimbulkan rasa senang untuk dipandang.

Pembangunan dan tata kelola ruang pariwisata Labuan Bajo secara estetik, semestinya mempertimbangkan dua hal ini. Perlu ada keadilan bagi lingkungan dan masyarakat lokal.

Estetika normatif sangat relevan dengan persoalan tata ruang laut dan pariwisata Labuan Bajo. Dalam konteks desain arsitektur misalnya, menetapkan prinsip keseimbangan, harmoni, dan fungsionalitas. Keseimbangan dimaksudkan agar tata ruang laut memperhatikan kepentingan baik ekologis maupun sosial budaya masyarakatnya.

Harmoni pembangunan pariwisata Labuan Bajo mempertimbangkan dampak lingkungan, terutama ekosistem laut yang ada. Jangan sampai hanya untuk kepentingan ekonomi segelintir orang, mengabaikan ekosistem laut yang ada. Karena itu, fungsionalitas diperhatikan.

Fungsi vila-vila yang dibangun saat ini dalam pandangan estetik, fungisnya hanya untuk beristirahat. Vila-vila ini tidak berkontribusi pada keindahan laut, karena itu tidak perlu membangun vila di atas laut.

Hotel dan penginapan yang ada di sekitar Labuan Bajo saat ini sudah representatif sebagai tempat yang nyaman untuk beristirahat. Bahkan, lebih baik jika wisatawan ditawarkan untuk beristirahat di penginapan yang ada di daratan sekaligus menikmati keunikan seni dan budaya masyarakatnya.

Pos terkait