Sementara di sisi lain, dinasti kekuasaan menimbulkan persoalan hilangnya kesempatan bagi mereka yang memiliki potensi yang sama. Jika tidak kuat dalam akses dan memiliki amunisi yang cukup, harapan orang muda lainnya cukup sulit sampai ke sana.
Oleh: Karolus Budiman Jama
Dosen Seni dan Koordinator Prodi S-2 Ilmu Linguistik PPs Undana
Perhatian saya dalam tulisan ini menyoroti politik dinasti dari sudut pandang estetika. Manusia adalah mahluk politik (zoon politikon).
Sebagai makhluk politik, setiap manusia berpotensi untuk berpolitik secara aktif maupun pasif.
Mereka yang suka dengan politik aktif cenderung untuk terlibat dan memilih pada satu gerbong pemikiran dan sikap politik.
Sedangkan yang pasif adalah mereka yang tidak menjatuhkan pilihan pada satu gerbong dan sikap politik. Keduanya tentu didasari oleh cara berpikir berbeda.
Baca Juga: Estetika Nietzsche: NTT Dalam 78 Tahun Indonesia Merdeka
Satunya untuk mengejar kekuasaan bahkan mempertahankan kekuasaan.
Sedangkan satunya berperan sebagai pengkontrol, secara ideal mereka mengharapkan sebuah negara yang makmur, damai, toleran, dan bebas untuk menyatakan pikiran serta mengeksprsikan sikap.
Mirip seperti mereka yang sedang berekpresi seni.
Estetika Politik: Jalan Harmoni Kehidupan
Apa itu estetika politik? Pertanyaan ini adalah pertanyaan dasar dan umum bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia filasafat.
Baca Juga: Estetika Paradoks: Membaca Rupa FKIP Undana
Sebab filasafat selalu dimulai dengan pertanyaan.
Estetika politik beririsan dengan estetika sebagai cara memenangkan minat publik, namun objek yang digarap berbeda.
Estetika politik berupaya memenangkan suara publik untuk kekuasaan, dengan maksud mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Sekali lagi, kebahagiaan bersama sebagai suatu negara bangsa. Sedangkan estetika itu sendiri merupakan ilmu seni yang bekerja untuk menguasai minat publik terhadap objek seni (baca: karya seni).
Tujuannya sama yaitu membuat orang senang atau bahagia, bahkan dapat memurnikan (katarsis).
Baca Juga: Estetika Feminisme: FKIP Undana dan Perwakilan Perempuan
Seni dalam politik kerap digunakan sebagai media untuk merebut kekuasaan.
Harapannya, melalui seni, cara berpikirnya serupa dengan seni yaitu mencapai harmonisasi.
Dalam bacaan saya, harmonisasi dalam politik adalah adanya keadilan dan keseimbangan. Salah satunya adalah keadilan hukum
Melalui estetika politik diharapkan adanya keadilan hukum. Hari ini, keadilan hukum selalu menjadi perbincangan hangat dalam ruang publik kita.
Hukum identik dengan penindakan terhadap masyarakat kecil.
Sedangkan elit, terkesan jauh dari keadilan hukum. Orang mengatakan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Baca Juga: Estetika Tradisi: Mensejahterakan Kota Kupang
Belum lagi soal mahkamah konstitusi yang mengejutkan masyarakat kita, terutama jagat politik Indonesia.
Usulan menurunkan persyaratan usia untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden diterima.
Kita tahu bersama bahwa untuk menjadi presiden dan wakil presiden memiliki batas usia minimal 40 tahun.
Namun, melalui keputusan mahkamah konstitusi (MK) usia minimal diturunkan menjadi 35 tahun dengan syarat-syarat tertentu.
Berbagai protes dan kritikan dilayangkan ke mahkamah konstitusi. Banyak cara dan gaya kritik terhadap MK.
Ada yang kritik melalui kreativitas seni dan ada yang melalui tulisan di media serta kritik dalam diskusi pada media eletronik.
Baca Juga: Membaca Estetika Berpikir Prof. Roy Nendissa
Dalam satu akun tiktok misalnya, melalui kreativitas seni mereka memparodi sebuah lagu yang berjudul “Paman Datang”.
Lagu ini syair aslinya berkaitan dengan cerita seorang paman dari desa membawa buah-buahan.
Oleh kreator tiktok, syair lagunya diplesetkan menjadi “Pamanku dari MK”. Mahkamah konstitusi diplesetkan menjadi ‘mahkamah keluarga”.
Protes ini muncul karena putusan MK yang menyetujui penurunan usia minimum pencalonan presiden dan wakil presiden.
Bukan sebuah kebetulan, Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden adalah keponakan dari ketua MK dan putra presiden Jokowidodo.
Baca Juga: Membaca Estetika Lingkungan di Kota Kupang
Publik politik menilai, terutama lawan politik, ini adalah upaya melanggengkan kekuasaan dan memperkuat dinasti politik. Hal ini terbaca dari syarat khusus yang diberikan oleh MK.
Syarat ini bermakna tidak ada keadilan hukum, sebab aturan ini hanya berlaku bagi segelintir orang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Putusan MK dianggap setengah-setengah karena tidak mengakomodir orang muda lainnya yang memiliki potensi yang sama seperti Rakabuming Raka, meskipun tidak harus pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Serapih apa pun trik politik, kalau tujuannya bukan untuk harmonisasi keadilan itu tetap dinilai buruk.
Baca Juga: Jaab Kunst (1930): Perekam Jejak Estetika Musik Flores
Padahal dalam estetika politik harapan utamanya adalah adanya harmonisasi. Termasuk keadilan hukum itu sendiri.
Indonesia: Paradoks Dinasti Kekuasaan
Indonesia, sejak zaman orde lama era Soekarno, orde baru era Soeharto, era reformasi dan posreformasi telah nampak gejala membangun dinasti kekuasaan.
Baik kekuasaan dipemerintahan maupun partai politik. Embrio dinasti kekuasaan telah disemaikan sejak mula.
Gen-gen politik diwariskan dari generasi ke generasi.
Era Soeharto misalnya, akhir masa pemerintahannya putrinya menjadi menteri.
Baca Juga: Estetika Nietzsche: NTT Dalam 78 Tahun Indonesia Merdeka
su yang berkembang saat itu, putrinya akan menggantikan posisi ayahnya sebagai presiden.
Golkar yang menjadi rumah politiknya menjaganya dengan apik; sebab partai ini dihuni oleh keluarga dan kolega presiden Suharto kala itu.
Dinasti kekuasaan di partai politik saat ini semakin menunjukkan eksistensinya.
Jelas sekali saat ini dinasti politik dalam partai.
Mulai dari dewan pembina hingga ketua umum partai dikendalikan oleh keluarga dan orang-orang terdekat.
Tujuannya jelas yaitu untuk tetap berkuasa.
Demikian halnya di pemerintahan saat ini.
Baca Juga: Estetika Paradoks: Membaca Rupa FKIP Undana
Mulai dari orang tua, anak, dan menantu, menempati posisi di pemerintahan.
Presiden Jokowidodo, anak sulung dan menantunya menjadi Wali Kota.
Tidak salah sebenarnya tentang hal ini, selama itu melalui tahap demokrasi yang adil dan jujur serta menjunjung nilai moral politik.
Bagi saya yang terpenting mereka mampu dan cakap dalam memimpin serta memberi jaminan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Tidak terkecuali.
Soal protes terhadap kentalnya dinasti kekuasaan saat ini, juga, jangan sampai mengabaikan hak politik setiap warga negara.
Sebab prinsipnya negara menjamin kebebasan politik bagi setiap warga negaranya.
Baca Juga: Estetika Tradisi: Mensejahterakan Kota Kupang
Siapa pun itu, tanpa memandang latar belakang keluarga, berhak menduduki jabatan publik.
Baik di eksekutif, yudikatif maupun legislatif.
Yang terpenting adalah tidak pernah tersangkut kasus hukum berat atau terlibat dalam kasus pelanggaran hak asasi manusi.
Mereka yang terlibat dalam kasus-kasus seperti ini tidak layak menempatinya.
Kembali kesoal putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres, ini dibaca sebagai upaya memeliahara dinasti kekuasaan.
Putusan hukum di MK terkait penurunan usia persyaratan calon presiden dan wakil presiden di MK mengejutkan sekaligus sebuah signal kurang baik bagi bangsa ini.
Baca Juga: Jaab Kunst (1930): Perekam Jejak Estetika Musik Flores
Paradoks memang, ketika ada peluang untuk mengutak atik konstitusi.
Satu sisi ini adalah soal hak yang sama dimata hukum, siapa pun itu, entah dia anak presiden, keponakan ketua MK, anak petani sekalipun berhak menjadi orang nomor satu di bangsa ini.
Sementara sisi yang lain dibaca sebagai cara menyumbat keran kekuasaan oleh kelompok tertentu, dengan maksud kelompok yang sedang berkuasa tetap langgeng.
Dinasti kekuasaan yang sedang berlangsung saat ini berada pada situasi yang paradoksal. Satu sisi, ada estetika politik yang sedang dijalankan saat ini.
Hal ini tercermin melalui survei kepuasaan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowidodo 75,8% sangat puas.
Baca Juga: Estetika Nietzsche: NTT Dalam 78 Tahun Indonesia Merdeka
Sementara di sisi lain, dinasti kekuasaan menimbulkan persoalan hilangnya kesempatan bagi mereka yang memiliki potensi yang sama.
Jika tidak kuat dalam akses dan memiliki amunisi yang cukup, harapan orang muda lainnya cukup sulit sampai ke sana. (*)