Ekspresi Seni: Dari Pinggiran Untuk 101 Tahun Kota Sari

Rindu Kota sari, kota yang dami dan kini ramai”, sebuah harapan mengubah keheningan menjadi gegap gempita dengan memproduksi karya-karya seni.

Oleh: Karolus Budiman Jama

Dosen seni dan Koordinator Prodi S-2 Ilmu Linguistik PPs Undana

SULUHDESA.COM | Siapa bilang anak-anak pinggiran jauh dari ekspresi estetik? Pertanyaan ini adalah sebuah pertanyaan dekonstruktif.

Pertanyaan yang menggugat pandangan bahwa yang dekat dengan dunia perkotaan dan dunia populer saja yang bisa berkesenian.

Pertanyaan ini terjawab oleh aksi-aksi estetik yang diekspresikan oleh siswa siswi dari 16 sekolah menengah pertama (SMP) se-Kecamatan Insana dan 7 sekolah se-Kecamatan Miomaffo Barat di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Baca Juga: Estetika Nietzsche: NTT Dalam 78 Tahun Indonesia Merdeka

Pertunjukan seni yang ditampilkan oleh sisiwa siswi di dua kecamatan ini merupakan koreksi dan pembuktian bahwa “dari pinggiran bisa menjadi pusat seni”.

Derida: Dari Pinggiran Menjadi Pusat Seni

Teori dekonstruksi postmodernisme Jacques Derrida melawan prinsip bahwa otoritas seni hanya terjadi dikalangan yang mudah mengakses pengetahuan seni dan pusat kesenian.

Ia membongkar pemaknaan tunggal terhadap pusat kekuasaan seni modern bahwa hanya mereka yang berada dipusaran seni saja yang mampu berekspresi seni.

Sedangkan yang berada jauh atau berada di pinggiran pusat seni itu tidak mampu berekspresi seni.

Baca Juga: Estetika Paradoks: Membaca Rupa FKIP Undana

Derrida memunculkan sebuah pandangan baru tentang itu.

Bahwa hal-hal kecil, kurang diperhatikan, kurang disinggung justru memiliki kekuatan estetik.

Mereka yang jauh dari pusat ini sebenarnya memiliki dasar yang kuat dan logis dalam aksi seni.

Selama ini, publik seni terkonstruksi secara mapan dalam pandangan bahwa seni itu hanya milik kalangan tertentu.

Misalnya, mereka yang sekolah di institusi seni, yang ada di perkotaan, yang dekat dengan galeri-galeri seni.

Baca Juga: Estetika Feminisme: FKIP Undana dan Perwakilan Perempuan

Pandangan tersebut kemudian menjadi prinsip bahwa seni itu didominasi oleh yang memiliki akses terhadap seni itu sendiri.

Pandangan dekonstruktif Derrida memberi alternatif lain terhadap konstruksi publik seni selama ini.

Siswa dan Siswi di dua kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Utara membuat kejutan kepada publik seni di sana.

Puluhan karya seni seperti sastra, musik dan rupa dihasilkan dan dipertunjukkan di atas panggung sekolah.

Mereka adalah representasi pergerakan dari pinggiran menuju pusat seni.

Baca Juga: Estetika Tradisi: Mensejahterakan Kota Kupang

Mereka yang selama ini berkesenian dengan senyap memunculkan riak seni seperti atom yang membunuh sepi.

Yang Pinggiran: Butuh Sentuhan

Pandangan dekonstruktif Derrida merupakan keberpihakan terhadap mereka yang selama ini tidak diperhatikan, tidak difasilitasi bahkan mereka dianggap tidak ada.

Bagi Derrida mereka yang mengalami hal ini memiliki potensi tersembunyi yang perlu dibongkar.

Merujuk pada pamikiran dekonstruktifnya, dalam konteks seni, siswa dan siswi yang berada dipinggiran jangan dipandang tidak memiliki rasa estetik.

Baca Juga: Membaca Estetika Berpikir Prof. Roy Nendissa

Sesungguhnya mereka memiliki potensi khas dan daya pikat seni yang kuat.

Khas berdasarkan resepsi yang mereka tangkap dari lingkungannya. Kuat karena mereka belajar dan dibentuk secara alamiah.

Kealamiahan ini membentuk sebuah originalitas estetik.

Estetik yang tidak memiliki tendensius apa pun kecuali sebagai ekspresi dan menuangkan gagasan seni.

Siswa dan siswi di Insana dan Miomaffo Barat misalnya, mereka memiliki kemampuan dan potensi seni.

Mereka memiliki gagasan estetik dan kemampuan pertunjukkan yang dapat diandalkan dan dinikmati.

Baca Juga: Jaab Kunst (1930): Perekam Jejak Estetika Musik Flores

Karena itu, potensi itu  perlu dibongkar.

Dibongkar dengan cara memberi sentuhan melalui kegiatan literasi seni yang muaranya pada pertunjukan.

Untuk membongkar potensi ini tentunya tidak langsung pada pertunjukan di panggung.

Hal pertama adalah melakukan diagnostik dan pemetaan terhadap peminatan seni untuk menghindari keterpaksaan.

Sebab memaksakan seni tertentu terhadap siswa siswi tidak membuhakan hasil yang maksimal.

Kedua, merangsan imajinasi untuk memanggil kembali pengalam estetik.

Baca Juga: Estetika Paradoks: Membaca Rupa FKIP Undana

Bagian ini, siswa diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman-pengalaman keseharian mereka.

Mereka dapat bercerita apa saja terkait keindahan alam yang ada sekitarnya.

Termasuk musik-musik yang mereka dengar.

Ketiga, membuat karya berdasarkan resepsi estetik yang telah dialami.

Tahap ini mereka menulis puisi dan cerita pendek dengan cara kreatif.

Aturan-aturan menulis yang ketat dikonversi secara sederhana sesuai perkembangan seni yang dimiliki.

Keempat, membuat konsep pertunjukan dan latihan. Langkah keempat ini didahului dengan merancang konsep pertunjukan.

Baca Juga: Estetika Nietzsche: NTT Dalam 78 Tahun Indonesia Merdeka

Karya puisi dan cerpen yang telah ditulis, diolah kembali menjadi seni pertunjukan.

Misalnya, puisi diolah menjadi musikalisasi puisi, teaterikal puisi dan dramatisasi puisi. Cerpen dioalah menjadi monolog dan drama pendek.

Langkah berikutnya adalah proses latihan.

Dalam proses latihan, bukan hanya keterampilan seni pertunjukaan saja yang diasah.

Rasa estetik mereka atau yang disebut penjiwaan seni harus digali dan dibentuk.

Melalui rasa estetik inilah mereka mampu mengekspresikan karya secara total.

Rasa malu dan ketidakpercayaan diri diubah menjadi ekspresi seni yang total.

Baca Juga: Estetika Feminisme: FKIP Undana dan Perwakilan Perempuan

Inilah yang dapat menyuburkan potensi seni yang kemudian menuju katarsis.

Kelima, melakukan pertunjukan.

Panggung menjadi ruang rindu mereka dalam ekpresi seni yang total. Melalui panggung terjadi penguatan pengalaman dan potensi seni.

Pangggung pertunjukan menjadi instrumen keberhasilan mereka dalam karya seni.

Lima sentuhan di atas dalam prosesnya akan menuju pada pembentukan karakter dan memiliki etitude.

Lima langkah di atas  mengantar mereka menjadi genarasi yang kokoh, kreatif, imajinatif dan produktif.

Rindu Kota sari: Kota Yang Damai dan Kini Ramai

“Rindu Kota Sari, kota yang dulu damai dan kini ramai” adalah penggalan dari dua puisi yang diciptakan oleh siswi SMP di Insana dan Miomaffo Barat.

Baca Juga: Membaca Estetika Lingkungan di Kota Kupang

Bagi penciptanya, puisi ini adalah ekspresi kecintaan terhadap perjalanan Kota sari di bumi Timor Tengah Utara (TTU) selam 101 tahun.

Rindu Kota Sari pada puisi karya dua siswi dapat dimaknai sebagai representasi warna biru pada bendera Kabupaten TTU.

Hal ini bentuk memanggil kesadaran sinergisitas antara pemerintah dan warganya untuk membangun lumbung kemakmuran.

Memanggil kembali mereka yang jauh dari kehangatan bumi Biinmafo untuk merasakan kasih sayangnya.

Rindu Kota Sari adalah sebuah keteguhan akan harapan pada kejayaan.

Dalam bacaan dekonstruktif, puisi ini menggambarkan refleksi terhadap penjelenggaraan aktivitas seni di Kabupaten Timor Tengah Utara.

Baca Juga: Jaab Kunst (1930): Perekam Jejak Estetika Musik Flores

Puisi ini juga bisa dibaca sebagai sebuah sakrasme yang diungkapkan dalam rupa yang etiks.

Artinya, sebuah pandangan kritis tentang kepedulian terhadap pentingnya ekspresi estetik generasi muda TTU, khususnya mereka yang berada di pinggiran pusat kota.

Ini juga sebagai sebuah pertanyaan yang esensial tentang pemenuhan kebutuhan mereka dalam bidang seni.

Bacaan dekonstruktif terhadap puisi yang diciptakan oleh dua siwi SMP ini adalah ekspresi sebaliknya.

“Rindu Kota Sari, kota yang damai dan kini ramai” dibaca sebagai keheningan yang terkondisi.

Keheningan terkondisi yang saya maksudkan adalah potensi seni yang ada pada diri siswa belum digali dan digembur.

Kedua puisi ini dibaca sebagai kerinduan pergerakan literasi seni yang masif.

Baca Juga: Membaca Estetika Lingkungan di Kota Kupang

Masif dalam memfasilitasi kerinduan generasi muda untuk mengekspresikan karya seni mereka.

Menyediakan pelatihan-pelatihan seni baik bagi murid maupun guru-guru.

Kegiatan bimbingan teknis atau workshop yang luarannya adalah karya seni dan pertunjukan.

“Rindu Kota sari, kota yang dami dan kini ramai”, sebuah harapan mengubah keheningan menjadi gegap gempita dengan memproduksi karya-karya seni.

Karya-karya seni yang menggelora dari pinggiran kota menuju pusat ekspresi seni. (*)

Pos terkait