Penulis: Mario G. Afeanpah
SuluhDesa.com | Menikmati masa tenang pada awal bulan ini, memaksa saya untuk mengerti betapa indahnya Iwan Fals meneriaki wo-o-ya-o-ya-o-ya bongkar!! Ketenangan saya sangat terusik, seakan-akan berkata pura-pura tidak tahu, tapi dalam hati mengatakan I Love Truth.
Dirty Vote adalah dasar manusia-manusia Indonesia untuk memaknai esensinya dari eksistensinya di bumi Indonesia ini. Kegelisahan dan ketakutan akibat permainan para penguasa terbongkar, bagaikan para pendulang emas yang tekun memisahkan antara pasir dan emas. Sangat halus, namun penuh dengan harapan.
Kolaborasi dari Zainal A. Mocthar, Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Dandhy Laksono merupakan konkritisasi terhadap kesejajaran antara rasio dan fakta, yang memungkinkan untuk mencapai suatu pemahaman yang kredibilitas, dan memiliki sifat kontinuitas. Sangat disayangkan bila ‘kebenaran disandingkan dengan jabatan’. Konsekuensi yang ada ialah ‘fitnah’, senjata memenangkan satu putaran.
Eksposisi yang ditunjukkan dalam filem dokumenter Dirty Vote bukan fitnah, melainkan hasil interpretasi terhadap kebrobokan-kebrobokan yang telah terjadi. Hasil evaluasi yang merujuk pada substansi keemasan bangsa Indonesia beberapa tahun ke depan, yang masih disutradarai oleh Jokowi. Sayang anak, akan tetapi tidak ingat anak.
Seruan dari para pemeran mengungkapkan kebenaran dari moral bangsa yang perlu untuk diperhatikan. Seruan etis tentang jurdil semestinya harus terjadi. Bukan dibungkus dalam kemasan-kemasan kemanusiaan; bansos, gaji.
Filem dokumenter tersebut, merupakan pembenaran akan sistem bangsa yang buruk bila tidak disikapi secara serius, kritis. Tepat bila Indonesia saat ini masih merindukan model kepemimpinan oteriterian. Maka, yang akan terjadi ialah ‘barang panas’; perjuangan untuk melaratkan tuan tanah sendiri oleh para penguasa yang haus kekuasaan.
Partisipan menjadi hitungan penting saat ini, publik membabi buta. Pandangan moral publik menjadi sasaran empuk. Masa tenang ataukah masa serang? Salahkah bila kami mengkritik? Kepekaan dari keempat tokoh filem tersebut mengartikan suatu hubungan simetris, bahwa kebenaran selalu merujuk pada kebaikan.
Melalui filem tersebut kurikulum pendidikan mendapat porsi yang besar untuk memaknai kebenaran sebagai standar cita-cita bangsa. Latar belakang keempat tokoh pemeran tersebut merupakan wujud nyata betapa berharganya pendidikan.
Sangat berlawanan bila pendidikan saat ini malah menumpuk para penindas bangsa, seruan pembatalan pemakzulan terhadap Jokowi adalah bentuk pendidikan yang merujuk pada terciptanya calon-calon pemimpin diktator. Memaknai jabatan sebagai kepemilikian tunggal, tanpa interupsi dan kritik.
Penderitaan Gen-Z melalui filem dokumenter Dirty Vote sungguh teratasi. Gen-Z tidak boleh pesimis. Kita perlu mempertahankan situasi kita ini, yang dari zaman orde baru telah diperjuangkan oleh para pendahulu dan kini diabaikan untuk ‘sistem dinasti’.
Sikap optimis kita sangat menentukan cita-cita kita kedepan. Komunitas-komunitas kita untuk bersikap peduli perlu dipertahankan. Kejahatan harus disingkirkan. Kewajiban memilih itu pasti, namun hak untuk mendapatkan masih menjadi misteri.
Sumbangsih para tokoh dari filem Dirty Vote dapat membantu kita untuk memaknai sistem dan pola dari para penguasa bangsa. Ungkapan Taufiq Ismail tentang ‘kita adalah pemilik sah republik ini’ menjadikan karya Zainal A. Mocthar dan rekan-rekannya sebagai ‘tanda, bahwa kedaulatan adalah dasar untuk kita terus-menerus menggugat tindakan dari keberadaan para penguasa’.
Sikap pesimis dari kita sesungguhnya telah memenjarakan hak dan kewajiban kita. Dan hal ini oleh Plato; tubuh tanpa jiwa, telah menjadi momok. Tubuh atau pribadi kita sebagai tempat bersemayamnya jiwa harus diwujudkan, esensi kita sebagai pemilik sah republik ini harus ditunjukkan.
Kita bukan orang-orang yang memasukan diri dalam liga boikot pemilu, yang sesungguhnya tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar. Kebenaran orang-orang liga boikot pemilu hanya berdasarkan kepentingan separatisme yang tentunya bagi kita bukanlah pilihan yang tepat karena Bhineka Tunggal Ika sungguh mengartikan keberagaman kita sebagai suatu identitas bangsa.
Dialegtika dari filem tersebut juga merupakan antitesis dari tesis kebenaran tunggal para penguasa. Sintesis yang didapatkan adalah pengetahuan kita, bahwa kita paham tentang sistem demokrasi. Sikap optimis kita, akan memungkinkan kita mencapai pemahaman yang akurat dalam sisa waktu menjelang pemilihan umum tahun ini.
Mengakhiri gagasan ini, saya teringat akan seorang filsuf kontemporer asal Prancis yakni Emmanuel Levinas. Doktrin pentingnya tentang etika tanggung jawab merupakan landasan yang tepat untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan manusia Indonesia saat ini.
Peran individu dalam mengakui perubahan yang lain tidak dapat direduksi; tuntutan etis, mengungkapkan sikap reorientasi radikal diri sendiri menuju kesejahteraan dan martabat orang lain, dengan mengutamakan kebutuhan dan kepentingan mereka di atas kepentingan diri sendiri.
Normalisasi tentunya adalah landasan hidup kita, namun semakin kebawah semakin tajam dan semakin keatas semakin tumpul. Maka, keberlainan perlu menjadi landasan setiap tindakan yang dibuat. Tanggung jawab menjadi landasan bersama dalam kebersamaan. Bersama karena satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. ***