SULUH DESA | Puisi Dorothea R. Herliany mengingatkan akan masa kelam Orde Baru, di mana kebebasan rakyat direnggut. Meski reformasi telah berlalu, demokrasi di NTT masih mundur dengan penurunan Indeks Demokrasi. Penulis mengusulkan preferensi politik berbasis integritas dan meritokrasi untuk masa depan.
Oleh: Wilhelmus Kelvin
Mahasiswa IFTK Ledalero
Rumah kita dipetak jadi papan catur
Langkah biduk amat pendek
Puisi penyair Dorothea R. Herliany yang dimuat dalam majalah Basis edisi Oktober 1996 mengingatkan kita akan masa kelam bangsa ini.
Puisi Dorothea hendak memanggil kembali ingatan, merunut rezim Orde Baru, dan yang paling penting ialah mengajak kita untuk tetap terjaga dengan fenomena kemunduran demokrasi.
Pada masa rezim Orde Baru kebebasan direnggut, pergerakan selalu dipantau, dan hak-hak dibatasi.
Bahkan untuk memperoleh kebebasan, sebagaimana Jefrey A. Winters dalam bukunya Dosa-dosa Politik Orde Baru (1999), rakyat Indonesia harus menunggu 50 tahun lagi. Alhasil kita menjadi asing di “rumah” sendiri.
Kemunduran Demokrasi?
Dalam negara demokrasi penguasa berkuasa sejauh legitimasi yang diberikan kepadanya (Ignas Kleden, 1984).
Legitimasi menjadi sangat penting bagi keberlangsungan seorang penguasa. Tanpa itu penguasa bukanlah siapa-siapa.
Sehingga amat disayangkan jikalau amanat hati nurani rakyat melalui legitimasi lewat pemilu tenggelam dan sirna seiring dengan sikap penguasa yang lebih mengedepankan keserakahan ketimbang kemaslahatan bersama.
Keberadaan masyarakat sipil (public civility) hanya sekadar obyek dari kekuasaan yang semu dan bahkan pada rezim Orde Baru sebagian besar rakyat hidup dalam kebisuan (Jefrey A. Winters, 1999).
Jika mengacu pada variabel Indeks Demokrasi maka kita mengalami kemunduran sebab salah satu variabel Indeks Demokrasi ialah kebebasan sipil (civil liberty).
Ketika kebebasan direnggut dari ruang publik, sejatinya demokrasi berada di simpang jalan dan diam-diam sedang dipermainkan, karena yang mengambil alih bukan lagi pemerintah yang demokratis melainkan sebuah tirani.
Situasi seperti ini, mengingatkan kita akan Platon (427 SM-347 SM), filsuf Yunani klasik, yang dengan keras mengatai demokrasi.
Dalam karyanya the Republic, Platon berpendapat bahwa demokrasi tak lain adalah introduksi untuk tiran.
Dalam konteks ini, pernyataan Platon boleh jadi benar. Kebebasan yang menjadi variabel dan tolok ukur kemajuan demokrasi pada rezim Orde Baru merupakan suatu yang nihil.
Peristiwa kelam yang direkam oleh Dorothea, bukan kebetulan diangkat jikalau tanpa adanya korelasi yang erat dengan keadaan sekarang.
Mengingat dalam beberapa waktu ke depan kita akan memilih pemimpin yang akan menahkodai Nusa Tenggara Timur (NTT) lima tahun mendatang.
Ya kita akan memilih gubernur dan wakil gubernur. Suksesi yang menjadi ajang lima tahunan itu mesti menjadikan kita makin waspada, kalau tidak mau dikatakan dewasa dalam progres hidup berdemokrasi.
Bagaimana dengan situasi hari ini? Apakah situasi hari ini identik dengan situasi yang direkam Dorothea?
Jika merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional, dalam dua tahun terakhir NTT mengalami penurunan Indeks Demokrasi.
Tahun 2022 dengan skor 77,83 dan skor 77,03 untuk tahun kemarin (2023). Meski tidak signifikan dalam penurunannya, toh itu menunjukkan bahwa kita sedang berlangkah mundur.
Kemundurannya pun jelas. Sementara Indeks Demokrasi nasional berkutat pada skor 79,51, kita masih tertinggal di bawahnya.
Belum lagi tahun ini, sebagai tahun elektoral, trend demokrasi terancam anjlok, mengingat adanya kecenderungan kontestasi politik yang tidak sehat, terutama melalui permainan yang tak terlihat (untouchable hand).
Sebagai akibat terjadilah demokrasi transaksional. Demokrasi yang diperjualbelikan dalam kamar-kamar gelap yang sarat akan kepentingan.
Dengan demikian perlu diwaspadai. Ini bukan hanya soal angka. Indeks Demokrasi kita yang menurun dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kita belum optimal.
Kebebasan, kesetaraan dan kapasitas lembaga demokrasi, yang menjadi variabel dan tolok ukur Indeks Demokrasi belum berjalan sepenuhnya dan karena itu menjadi proyek bersama yang segera digarap, termasuk pemimpin baru yang akan datang.
Dalam hal kesetaraan misalnya, kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT masih terus bertambah.
Data terakhir dari Doc Dialog RRI Kupang (10/01/2023), tercatat mencapai 1.026 kasus.
Itu pun tidak sepenuhnya masuk dalam radar pendataan. Belum lagi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap Maria Josephina Mey di Kupang berakhir dengan meninggal dunia, yang akhir-akhir ini menghiasi jagat media mainstream kita (Victory News, 19/09/2024).
Ini adalah beberapa fenomena yang mencemaskan bagi kehidupan demokrasi di NTT.
Demokrasi modern tak lain adalah produk dari revolusi Prancis pada abad 18 dengan semboyannya yang terkenal liberty, egality, dan fraternity.
Kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Tema-tema ini kemudian menghiasi demokrasi modern dan menjadi semacam rule model dalam hidup berdemokrasi.
Dengan adanya data dan kasus di atas yang mau diutarakan ialah sikap kita dalam berdemokrasi.
Penyair Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) jauh-jauh hari mengingatkan kita bahwa “siapa yang tertidur dalam demokrasi akan terbangun dalam kediktatoran”.
Tanpa adanya kejelihan dan sikap yang sigap demokrasi kita akan jatuh pada sebuah tirani.
Jangan sampai kita membiarkan penguasa leluasa dan begerak sesukanya.
Preferensi Politik
Mengatasi fenomena ketimpangan demokrasi, penulis mengusulkan alternatif yang sedianya menjadi awasan dan sekaligus semacam peringatan dini (early warning system).
Itu adalah preferensi politik yang jelas lagi tegas.
Dengan memiliki preferensi politik yang jelas lagi tegas kita sejatinya ikut terlibat dalam menentukan arah dan progres demokrasi.
Ada dua prinsip yang menunjukkan bahwa preferensi politik kita jelas lagi tegas.
Pertama, integritas. Seorang pemimpin apalagi memimpin NTT dengan aneka tantangan dan kebutuhan mendesak mengharuskan pemimpin yang berintegritas.
Kata-katanya dapat dipegang, tabiat hidupnya bisa digugu, kepemimpinannya menghadirkan inspirasi.
Dengan kata lain seorang yang berjiwa besar dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Bahkan ia mesti mampu untuk hidup di bawah tekanan. Ada satu ungkapan Mohammad Hatta yang menarik sebagaimana dikutip Budiman Tanuredjo dalam bukunya Negara Bangsa di Simpang Jalan (2021) bahwa “kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar.
Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit diperbaiki”. Demikian Hatta mengingatkan kita betapa pentingnya integritas.
Integritas tidak bisa ditawar-tawar. Negara bangsa ini karam karena mengalami krisis kepeminpinan.
Kedua, prinsip meritokrasi. Dalam prinsip meritokrasi seorang individu (pemimpin) diakui berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan berdasarkan privilese tertentu.
Sebab itu idealnya, seorang pemimpin mesti memiliki keunggulan pikiran.
NTT dengan ragam persoalan dan aneka tantangan mengharuskan pemimpin yang memiliki keunggulan pikiran.
Pasalnya, pemimpin hadir sebagai jawaban atas persoalan bukan sebaliknya, pemimpin justru mewariskan persoalan baru.
Jangan sampai pemimpin kita miskin akan gagasan, tetapi justru kaya akan kepentingan. Ini yang perlu dihindari.
Dengan memiliki preferensi politik yang jelas lagi tegas kita sejatinya sedang menulis sejarah yang apik untuk dibaca oleh generasi mendatang.
Kita akan menciptakan sejarah baru yang kemudian menjadi pedoman arah bagi generasi mendatang.
Sebab itu puisi Dorothea jangan sampai terbang bersama mimpi-mimpi kita. Sebagimana mimpi, ia selalu bertautan dengan harapan.
Maka jangan kehilangan harapan! (*)