Defisiensi Theory of Mind dan Pandemi COVID-19 dalam Memahami Peningkatan Angka Bunuh Diri di Provinsi NTT

“Tanpa mengesampingkan keinginan untuk mengetahui alasan seseorang memilih bunuh diri, saya berpendapat bahwa kita perlu turut bergembira dengan adanya fakta bahwa sejumlah pelaku percobaan bunuh diri ada yang tidak mengulang mencoba untuk bunuh diri sehingga masih mampu bertahan hidup.” 

Penulis: Marleny Purnamasary Panis (Dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang)


SuluhDesa.com | Di awal tahun 2024 berita tindakan bunuh diri oleh sejumlah individu di wilayah provinsi NTT kembali dimuat di berbagai media massa dengan adanya perilaku bunuh diri ditunjukkan oleh seorang siswa SMA di Kabupaten Maumere dan berita 4 orang yang bunuh diri sepanjang bulan Januari 2024 di Kabupaten Sumba Timur.

Hal ini berarti kita kehilangan sumber primer untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan individu-individu tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka.

“Kegagalan” Pelaku Percobaan Bunuh Diri Patut Dirayakan

Theory of Mind (ToM) merupakan suatu konsep yang pertama kali dikemukakan oleh Premack dan Woodruff pada tahun 1978 dan mengacu pada kemampuan-kemampuan yang mendasari kapasitas individu untuk melakukan penalaran tentang situasi-situasi mental, baik situasi mental diri sendiri maupun situasi mental orang lain.

Baca Juga: BREAKING NEWS! Romo Kepala SMAK St Claus Kuwu Ditemukan Tewas Diduga Bunuh Diri

Interaksi sosial mustahil berlangsung tanpa ToM. ToM sangat diperlukan untuk memprediksi dan memahami tindakan-tindakan orang lain, melakukan komunikasi yang efisien, mendorong pembelajaran sosial, dan menjadi fondasi untuk perhatian empatik.

Mekanisme ToM berlangsung ketika individu mencoba menjelaskan situasi-situasi mental yang terdiri dari elemen-elemen seperti niat, emosi, keinginan, keyakinan terhadap diri sendiri dan orang lain, dan memahami bahwa orang lain memiliki keyakinan, niat, dan keinginan yang berbeda dari yang dimilikinya.

Lebih baik bagi kita yang masih hidup untuk saling mencerahkan dan menguatkan daripada meratapi dan mengutuki situasi gelap yang menyelimuti perilaku dan situasi para korban bunuh diri yang telah pergi dari tengah-tengah kita.

Tanpa mengesampingkan keinginan untuk mengetahui alasan seseorang memilih bunuh diri, saya berpendapat bahwa kita perlu turut bergembira dengan adanya fakta bahwa sejumlah pelaku percobaan bunuh diri ada yang tidak mengulang mencoba untuk bunuh diri sehingga masih mampu bertahan hidup.

Dari para penyintas percobaan bunuh diri inilah kita mengetahui bahwa mereka mengalami defisiensi ToM.

Baca Juga: Tragedi Bunuh Diri Mahasiswi di Kupang: Pertanda Bahwa Perlu Adanya Upaya Mitigasi Risiko dari Kampus

Identifikasi perilaku bunuh diri yang berhubungan dengan defisiensi ToM dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor risiko selain dari teknik penanganan dan pencegahan bunuh diri.

Peningkatan Angka Korban Bunuh Diri sebagai Residu Pandemi COVID-19

Defisiensi ToM banyak ditemukan pada orang-orang dengan gangguan depresi. Terdapat 1 orang dari 4 orang korban bunuh diri di Sumba Timur pada bulan Januari 2024 yang mendapat diagnosa klinis sebagai individu dengan gangguan mental.

Hal ini berarti sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti status kesehatan mental para korban bunuh diri lainnya di provinsi NTT terutama selama kurang lebih 3 tahun terakhir ini.

Dalam situasi klinis, orang-orang dengan gangguan depresi menunjukkan 3 karakteristik umum, antara lain: sangat sensitif dan mudah teralihkan oleh stimulus-stimulus lingkungan yang menandakan status sebagai “pihak yang kalah”, merasa terjebak dalam situasi kurangnya kapasitas untuk memecahkan masalah, dan kurangnya proses mental yang prospektif untuk mengatasi masalah yang kemudian mengarahkan individu pada perasaan tidak mempunyai harapan.

WHO (World Health Organization) telah melaporkan bahwa tekanan psikologis yang dialami selama pandemi COVID-19 menjadi faktor risiko peningkatan angka bunuh diri yang, pada periode sebelum merebak wabah COVID-19, merupakan permasalahan yang angka kejadiannya sebenarnya sudah menurun di hampir semua wilayah dunia.

Pemahaman kolektif tentang situasi ini tentunya dapat memudahkan setiap individu yang berupaya untuk memahami situasi mental orang lain dan situasi mental diri sendiri pasca pandemi COVID-19.

Baca Juga: Diduga Malu Karena Foto Bugilnya Tersebar Di WA Grup Dan Diketahui Teman Kelas, Siswi SMA Di TTU Bunuh Diri

Mekanisme ToM dalam Peningkatan Kesehatan Mental di NTT

ToM diperlukan oleh orang-orang dengan gangguan mental dan juga populasi umum. Salah satu mekanisme ToM adalah berbagi pengetahuan tentang dunia.

Berbagai simtom gangguan mental yang muncul sebelum ataupun yang muncul selama pandemi COVID-19 namun belum teratasi di saat ini perlu ditanggapi sebagai realitas intersubjektif di seluruh kalangan masyarakat.

Ini mengimplikasikan kebutuhan untuk mencari bantuan dalam menghadapi masalah kesehatan mental intensitasnya meningkat pasca COVID-19. Mekanisme lainnya dalam bentuk persepsi terhadap petunjuk-petunjuk sosial memerlukan dihapuskannya stigma terhadap perilaku mencari bantuan dalam menghadapi masalah kesehatan mental.

Perlu dibangun kesadaran kolektif mengenai adanya pola perilaku baru yang wajar untuk muncul di tengah masyarakat pasca pandemi COVID-19 yaitu perilaku mencari bantuan terkait masalah kesehatan mental.

Untuk ini, keterbatasan tenaga profesional kesehatan mental di NTT diharapkan tidak menjadi kendala oleh karena sumber bantuan dalam mengatasi masalah kesehatan mental tidak hanya berasal dari sumber formal.

Sumber bantuan dalam mengatasi masalah kesehatan mental lainnya yang dapat ditemui adalah para tokoh agama yang diharapkan selain bertindak sebagai pihak otoritas kehidupan beriman juga mampu mengayomi umat dengan mempelajari teknik-teknik dalam memberikan bantuan psikologis awal.

Situasi semacam ini yang mungkin terjadi dalam sesi konsultasi dan pengakuan dosa dengan seorang imam katolik dimana individu dapat mengalami suatu proses talking cure atau katarsis karena membicarakan masalahnya dan mendapat bimbingan dan berkat ketika mengakui dosa-dosanya pada imam.

Bantuan semi-formal lainnya bisa juga didapat dari pihak-pihak seperti guru atau supervisor di tempat kerja.

Dalam pemberitaan terkait perilaku bunuh diri juga ada baiknya berbagai media massa, baik di NTT maupun di luar NTT, mulai lebih banyak mamaparkan informasi hasil riset tentang faktor-faktor protektif di samping faktor-faktor risiko yang berhubungan erat dengan perilaku bunuh diri.

Jika perilaku bunuh diri dibandingkan dengan penyakit medis yang angka kejadiannya seringkali sangat dipengaruhi oleh faktor genetik bukankah sebaiknya pemberitaan tentang situasi para korban bunuh diri juga tidak diberitakan secara luas di media massa demi menghormati dan menjaga privasi korban yang sudah meninggalkan kita semua?

Hal ini perlu dilakukan karena terdapat efek pemodelan yang kuat dari liputan media tentang bunuh diri yang didasarkan pada usia dan jenis kelamin.

Selain itu, para individu dengan latar belakang demografis yang mirip dengan para korban bunuh diri yang dipublikasikan secara luas lebih rentan dan reseptif terhadap identifikasi diri dengan korban bunuh diri.

Penerapan ToM secara luas dalam memahami kesehatan mental diharapkan dapat berdampak bagi peningkatan perilaku sehat mental di berbagai lapisan masyarakat khususnya masyarakat di NTT. ***

Pos terkait