Awal Kehidupan dan Karier Jorge Mario Bergoglio Sebelum Terpilih Menjadi Paus dengan Nama Fransiskus

SULUH DESA | Jorge Mario Bergoglio, lebih dikenal saat ini sebagai Paus Fransiskus, lahir pada tanggal 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina, dari pasangan imigran Italia.

Ayahnya, Mario José Bergoglio, bekerja sebagai pekerja kereta api, sementara ibunya, Regina Sivori, adalah seorang ibu rumah tangga.

Keluarga Bergoglio datang dari lingkungan sederhana, yang membentuk pandangan Jorge terhadap nilai-nilai kesederhanaan dan kerja keras.

Saat masa kecilnya, Jorge mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Katolik, yang memberikan dasar bagi keyakinan religiusnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas di sekolah teknik bernama Escuela Técnica Industrial N° 27, dia meraih gelar sebagai teknisi kimia.

Dengan latar belakang pendidikan ini, dia sempat bekerja di industri pengolahan makanan, khususnya di laboratorium, tempat dia memperoleh pengalaman praktis dan pengetahuan teknis dalam bidang kimia.

Namun, karier dalam industri tersebut tidak menjadi jalan yang dipilihnya untuk jangka panjang.

Bahkan di usia muda, Jorge telah merasa ada sesuatu yang lebih mendalam memanggilnya.

Dengan keinginan untuk berbuat lebih banyak bagi komunitas dan keyakinan, akhirnya dia memilih untuk mengikuti panggilan spiritualnya dan memasuki seminari.

Keputusan ini menandai awal dari perjalanan panjangnya dalam kehidupan religius yang akhirnya membawanya ke posisi tertinggi dalam hierarki Gereja Katolik.

Pilihan untuk mengabdikan hidupnya kepada gereja bukanlah keputusan yang diambil secara impulsif.

Latar belakang keluarganya yang religius serta pendidikan yang diterimanya sejak kecil memainkan peran penting dalam membimbingnya menuju panggilan tersebut.

Dengan dukungan dari keluarganya, yang meskipun sederhana namun penuh cinta, Bergoglio memulai perjalanan yang mengarah pada peran pentingnya sebagai pemimpin spiritual bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Masa Pemulihan dan Panggilan Spiritualitas

Pada usia sekitar 21 tahun, Bergoglio, yang kelak dikenal sebagai Paus Fransiskus, menghadapi cobaan yang signifikan ketika ia menderita pneumonia parah.

Kondisi kesehatannya yang buruk memerlukan tindakan medis darurat, mengharuskan dokter untuk mengangkat sebagian dari paru-paru kanannya.

Masa pemulihan dari operasi tersebut bukan hanya menjadi periode pemulihan fisik bagi Bergoglio, tetapi juga mentransformasikan hidupnya secara spiritual.

Setelah pulih, Bergoglio merasakan panggilan mendalam untuk menjalani kehidupan keagamaan.

Pada tahun 1958, ia memutuskan untuk memasuki novisiat Yesuit, sebuah langkah yang menandai awal perjalanan spiritualnya sebagai seorang Yesuit.

Novisiat Yesuit, yang dikenal dengan disiplin keras dan komitmen mendalam terhadap pendidikan dan pelayanan, memberi Bergoglio ruang untuk membentuk pemikirannya dan memperdalam komitmen spiritualnya.

Evaasi penyembuhan fisik dan spiritualnya menjadi fondasi kuat bagi perjalanan hidupnya.

Bergoglio belajar dari pengalamannya bahwa kesulitan dapat membawa kebijaksanaan dan keberanian.

Ini mendorongnya untuk mendedikasikan hidupnya dalam pelayanan kepada Sesama, sejalan dengan nilai-nilai Jesuit yang inklusif.

Pengalaman ini tertanam dalam dirinya, memberinya perspektif yang lebih luas tentang kehidupan dan tugasnya untuk membantu sesama tanpa memandang latar belakang mereka.

Masuknya ke dalam ordo Yesuit membuka berbagai kesempatan bagi Bergoglio untuk mendalami teologi dan filsafat.

Ia memperoleh pendidikan yang kokoh di bidang ini, yang kemudian menjadi landasan kuat dalam perjalanan hidupnya selanjutnya.

Masa pemulihan dan panggilan spiritualitas yang dirasakannya pada usia muda membentuk fondasi kuat dari komitmennya terhadap ajaran keagamaan dan misi pelayanannya yang militan, yang karakteristiknya masih terlihat hingga hari ini dalam kepemimpinannya sebagai Paus Fransiskus.

Pendidikan Akademis dan Awal Karier Mengajar

Jorge Mario Bergoglio melanjutkan studi humaniora di Santiago, Chile, di mana ia mengembangkan minat mendalam terhadap bidang filsafat dan sastra.

Pengalaman akademisnya di sana tidak hanya memperkaya pengetahuannya, tetapi juga membentuk dasar pemikirannya yang kritis dan analitis.

Setelah menyelesaikan studinya di Santiago, ia kembali ke Argentina dan berhasil meraih gelar lisensiat dalam bidang filsafat dari Fakultas Filsafat dan Teologi Milik Serikat Yesus, di Provinsi Buenos Aires.

Gelar lisensiat ini setara dengan gelar master, menegaskan komitmen Bergoglio terhadap pendidikan tinggi dan keahlian akademisnya yang mendalam.

Setelah lulus, Bergoglio tidak langsung memasuki kehidupan rohani penuh waktu. Sebaliknya, ia memulai karier mengajar di beberapa sekolah menengah.

Mengajar sastra dan psikologi, Bergoglio menggabungkan metodologi yang inovatif dengan pemahaman mendalam tentang kedua disiplin ilmu tersebut.

Mata pelajaran sastra memberinya ruang untuk mengeksplorasi narasi, karakter, dan konteks historis yang kaya, sementara psikologi memungkinkannya untuk memahami lebih baik sifat manusia dan dinamika interpersonal.

Gabungan dari kedua bidang ini membentuk pendekatan pengajarannya yang holistik dan humanis.

Saat mengajar, Bergoglio juga mengejar studi teologi, memperkuat fondasi spiritual serta intelektualnya.

Pendidikan teologi membuka perspektif baru dalam memahami dan menerangkan ajaran gereja, serta bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kesibukan dalam mengajar dan studi teologi menunjukkan kemampuan Bergoglio untuk menyeimbangkan berbagai tanggung jawab secara efektif.

Pengalaman ini bukan hanya mempersiapkan dirinya untuk tanggung jawab yang lebih besar di kemudian hari, tetapi juga mencerminkan dedikasinya terhadap pendidikan, baik akademis maupun spiritual.

Penahbisan dan Visi dalam Orde Yesuit

Pada tahun 1969, Jorge Mario Bergoglio menerima penahbisan sebagai imam, menandai awal resmi dari pelayanannya di Gereja Katolik.

Setelah penahbisannya, Bergoglio memperlihatkan komitmen yang mendalam terhadap misi dan ajaran Katolik, yang tercermin dalam pengabdian dan ketaatan tanpa kompromi kepada Orde Yesuit.

Empat tahun setelah penahbisannya, pada tahun 1973, ia mengambil sumpah terakhir sebagai seorang Yesuit, sebuah langkah penting yang mencerminkan keseriusan komitmennya terhadap prinsip-prinsip ordo yang sangat berpengaruh ini.

Selama masa ini, Bergoglio juga dipercaya dengan tanggung jawab besar sebagai kepala provinsi Yesuit Argentina.

Menjabat dari tahun 1973 hingga 1979, Bergoglio menunjukkan keterampilan kepemimpinannya dalam mengelola komunitas religius yang luas dan dinamis.

Kepemimpinannya ditandai dengan upayanya untuk mempromosikan pendidikan dan keadilan sosial, dua pilar utama dalam misi Orde Yesuit.

Dengan pendekatan yang inklusif dan visioner, ia berusaha untuk menjadikan teologi lebih relevan dan aplikatif dalam konteks sosial dan budaya di Argentina yang saat itu tengah mengalami berbagai gejolak politik dan sosial.

Visi Bergoglio dalam Orde Yesuit tidak hanya terbatas pada aspek spiritual dan teologis, tetapi juga mencakup dimensi sosial dan kemanusiaan.

Ia mengadvokasi dialog antarkultural dan interreligius, berupaya untuk mendorong pemahaman yang lebih mendalam antara masyarakat dengan berbagai latar belakang.

Dalam kepemimpinannya, Bergoglio memperlihatkan dedikasi yang luar biasa dalam mengatasi kesenjangan sosial dan membantu mereka yang paling membutuhkan, mencerminkan semangat Yesuit dalam pelayanan kepada kemanusiaan.

Keseluruhan pengabdiannya dalam Orde Yesuit membentuk fondasi yang kuat bagi peran-perannya di kemudian hari dalam Gereja Katolik, sebuah perjalanan yang dimulai dari penahbisan dan komitmen terhadap nilai-nilai dan visi Yesuit yang mendalam.

Kepemimpinan dalam Masa Perang Kotor di Argentina

Jabatan Bergoglio sebagai kepala Yesuit di Argentina bertepatan dengan periode yang penuh gejolak di negara tersebut, yakni kudeta militer tahun 1976 dan Perang Kotor yang menyusul.

Dalam masa penuh ketegangan dan ketidakpastian ini, Bergoglio mengklaim telah memainkan peran penting dalam melindungi sejumlah orang dari kejaran pihak berwenang dan membantu mereka melarikan diri ke luar negeri.

Klaim ini menyoroti aspek kemanusiaan dari kepemimpinan Bergoglio di masa yang sangat sulit.

Meskipun ada tindakan-tindakan yang menunjukkan keberaniannya, masa jabatan Bergoglio tidak lepas dari kontroversi.

Salah satu tuduhan serius yang dihadapinya adalah terkait keterlibatannya dalam penculikan dua imam Yesuit, Orlando Yorio dan Francisco Jalics.

Beberapa pihak menuduh Bergoglio mengetahui rencana penculikan ini dan menganggapnya tidak melakukan cukup banyak untuk mencegah hal tersebut.

Namun, Bergoglio dan pendukungnya membantah keras tuduhan ini, menyatakan bahwa dia tidak hanya tidak terlibat dalam penculikan, tetapi juga telah membuat berbagai upaya untuk menyelamatkan imam-imam tersebut.

Pembelaan Bergoglio lebih lanjut menunjukkan bahwa situasi yang dihadapinya sangat kompleks dan berisiko, mengingat rezim militer yang brutal sering bertindak tanpa pandang bulu.

Beberapa saksi dan ahli sejarah mengakui bahwa Bergoglio beroperasi dalam konteks yang sangat tertekan dan berbahaya, di mana tindakan terbuka melawan pemerintah bisa berakibat fatal, baik bagi dirinya maupun orang-orang yang ingin dibantunya.

Sejak itu, investigasi dan studi lebih lanjut telah memberikan gambaran yang lebih nuansa tentang peran Bergoglio selama Perang Kotor, meskipun kontroversi tetap ada.

Kesaksian mengenai tindakan Bergoglio pada masa ini menegaskan dilema etika yang sering dihadapi pemimpin agama dalam situasi konflik dan kezaliman.

Apapun interpretasi terhadap tindakannya, masa ini tetap menjadi salah satu periode paling kritis dalam karier Bergoglio dan kontribusinya untuk menavigasi jaluran kemanusiaan di tengah kekacauan telah menambahkan dimensi kompleks terhadap warisannya sebagai pemimpin Yesuit dan kemudian sebagai Paus.

Pengangkatan sebagai Uskup Agung dan Kardinal

Pada tahun 1992, Jorge Mario Bergoglio diangkat sebagai uskup auksilier Buenos Aires oleh Paus Yohanes Paulus II.

Pengangkatan ini menandai awal dari peran pentingnya dalam hierarki Gereja Katolik.

Sebagai uskup auksilier, Bergoglio tidak hanya berperan dalam tugas-tugas kepemimpinan di keuskupan tetapi juga aktif dalam kegiatan pastoral dan sosial.

Karirnya terus berkembang seiring dengan dedikasinya pada komunitas dan pelayanan gerejani.

Perjalanan karier Bergoglio mencapai puncak baru pada tahun 1998, ketika ia diangkat menjadi Uskup Agung Buenos Aires.

Dalam perannya ini, Bergoglio menunjukkan komitmen yang kuat terhadap reformasi gereja dan pelayanan sosial.

Dia dikenal karena pendekatan pastoralnya yang mengutamakan keterlibatan langsung dengan jemaat, serta penekanannya pada kerendahan hati dan pelayanan kepada masyarakat miskin.

Pendekatan ini membuatnya dikenal luas dan dihormati di kalangan umat Katolik maupun masyarakat umum.

Puncak dari perjalanan keuskupan Bergoglio terjadi pada tahun 2001, ketika dia ditahbiskan sebagai kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II.

Sebagai kardinal, Bergoglio tidak hanya memiliki pengaruh yang lebih besar dalam keputusan-keputusan penting Gereja Katolik, tetapi juga memainkan peran signifikan dalam konklaf yang memilih Paus.

Posisi kardinal ini dipegang Bergoglio sampai pemilihannya sebagai Paus pada tahun 2013.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai kardinal, Bergoglio terus fokus pada isu-isu sosial, memperjuangkan keadilan dan pelayanan bagi mereka yang terpinggirkan.

Kepemimpinannya di Buenos Aires menegaskan komitmennya terhadap prinsip-prinsip ini, yang kemudian juga membentuk arah gereja di bawah kepausannya.

Secara keseluruhan, pengangkatan Bergoglio sebagai uskup agung dan kardinal adalah titik balik penting dalam kehidupannya, yang mempersiapkannya untuk peran yang lebih besar dalam Gereja Katolik.

Reputasi Kederhanaan dan Pandangan Sosial

Jorge Mario Bergoglio, yang kelak menjadi Paus Fransiskus, terus mempertahankan kesederhanaannya meskipun telah mendapatkan jabatan-jabatan tinggi di Gereja Katolik.

Ketika menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires dan kemudian sebagai Kardinal, Bergoglio dikenal karena menjalani gaya hidup sederhana. Hal ini terlihat jelas selama krisis ekonomi akhir 1990-an di Argentina, di mana ia memilih tinggal di sebuah apartemen kecil dibandingkan dengan kediaman resmi uskup yang lebih mewah. Selain itu, ia sering kali menggunakan transportasi umum alih-alih kendaraan dinas yang diberikan kepadanya.

Tindakannya yang mencerminkan kesederhanaan ini bukan hanya simbolis, tetapi juga mencerminkan pandangan sosialnya yang kuat.

Bergoglio dikenal sebagai suara bagi kaum miskin dan terpinggirkan.

Ia aktif mengadvokasi hak-hak mereka dan menyerukan keadilan sosial dalam setiap kesempatan.

Bergoglio tidak ragu untuk menegur kebijakan-kebijakan yang menurutnya tidak adil dan menekan golongan masyarakat yang lebih lemah, menjadi advocat yang kuat di lembaga keagamaan di Argentina.

Pada masa ekonomi yang sulit tersebut, Bergoglio menunjukkan konsistensi dalam tindakannya.

Ia kerap mengunjungi lingkungan-lingkungan miskin untuk mendengarkan keluhan dan kebutuhan mereka secara langsung.

Kesederhanaan hidupnya dianggap oleh banyak orang sebagai bentuk solidaritas dengan mereka yang menderita. Ini membangun reputasi bahwa Bergoglio adalah seseorang yang tidak hanya berbicara tentang keadilan sosial, tetapi juga hidup dengan nilai-nilai tersebut.

Bergoglio juga dianggap sebagai politisi berbakat dalam hal isu-isu sosial. Ia bisa menavigasi berbagai persoalan politik dengan ketajaman dan kejelasan, mengambil sikap yang bisa diterima oleh berbagai kalangan tanpa kehilangan fokus pada mereka yang paling membutuhkan.

Reputasinya sebagai pemimpin yang rendah hati dan berkomitmen terhadap keadilan sosial memberikan landasan kuat bagi dirinya ketika kemudian terpilih menjadi Paus Fransiskus.

Konflik Teologis dengan Administrasi Kirchner

Pertentangan teologis yang tajam antara Jorge Mario Bergoglio, yang kemudian dikenal sebagai Paus Fransiskus, dan pemerintahan Kirchner dimulai pada masa jabatan Presiden Néstor Kirchner dan berlanjut di bawah kepemimpinan Cristina Fernández de Kirchner.

Sebagai seorang pemimpin Gereja Katolik yang memegang teguh ajaran konservatif, Bergoglio sering kali berseberangan dengan kebijakan progresif dari pemerintahan kiri-tengah tersebut.

Salah satu titik konflik utama adalah pandangan teologis dan moral Bergoglio yang sangat menentang berbagai inisiatif sosial dari pemerintahan Kirchner.

Misalnya, pada tahun 2010, Fernández memperkenalkan dan mendukung legislasi untuk legalisasi pernikahan sesama jenis di Argentina.

Bergoglio menjadi salah satu pengkritik vokal terhadap proposal tersebut, yang menurutnya bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.

Ia menggambarkan legalisasi pernikahan sesama jenis sebagai “gerakan destruktif terhadap rencana Tuhan.”

Ketegangan antara Bergoglio dan Fernández memanas ketika Presiden Fernández secara terbuka menuding Bergoglio sebagai seorang ekstremis kanan.

Ia mengklaim bahwa pandangan konservatif Bergoglio bertentangan dengan upaya pemerintahnya untuk mempromosikan hak-hak sipil dan sosial di masyarakat.

Tuduhan tersebut menambah lapisan baru pada hubungan yang sudah tegang antara Gereja Katolik dan pemerintahan sekuler di Argentina.

Tidak hanya dalam masalah pernikahan sesama jenis, perbedaan pandangan juga terjadi dalam berbagai kebijakan sosial lainnya seperti pendidikan seksual dan distribusi kontrasepsi, yang didukung pemerintahan Kirchner tetapi ditentang oleh Gereja.

Bergoglio berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan tersebut merusak moralitas sosial dan nilai-nilai keluarga tradisional.

Konflik teologis antara Bergoglio dan pemerintahan Kirchner menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip agama dapat berada dalam ketegangan dengan kebijakan sekuler.

Meskipun berselisih dalam banyak hal, konflik tersebut juga menegaskan peran penting dari dialog dan toleransi dalam mengelola perbedaan pandangan di ruang publik.

Pos terkait