Jakarta, suluhdesa.com – Tim Advokasi Forum Komunikasi Komunitas Flobamora (FKKF) Jabodetabek menemui Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugiyanto Sipin, pada Selasa (11/2/2025) untuk meluruskan informasi yang keliru terkait sengketa tanah Nangahale di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tim Advokasi yang mewakili Keuskupan Maumere memaparkan bukti yuridis dan fisik kepemilikan tanah tersebut.
Pertemuan dihadiri Direktur Pengaduan HAM, Osbin Samosir, dan Staf Khusus Menteri HAM Stanislaus Wena. Tim Advokasi dipimpin Ketua Umum FKKF Jabodetabek, Marsel Ado Wawo, SH, dan Ketua Dewan Pembina FKKF, Petrus Selestinus, SH.
Marsel Ado Wawo membantah tudingan pelanggaran HAM oleh PT Krisrama (milik Keuskupan Maumere) saat membersihkan lahan HGU di Nangahale. Berita yang beredar menyebut perusahaan tersebut menggusur rumah warga di tanah adat, sebuah klaim yang dibantah oleh Tim Advokasi.
“Kami hadir untuk menjelaskan status hukum tanah HGU yang diberikan negara kepada PT Krisrama,” ujar Marsel.
Ia menambahkan bahwa tanah tersebut diduduki secara ilegal, dan para penduduki yang melanggar hukum justru meminta keadilan, hal yang dianggap tidak masuk akal.
Agustinus Dawarja, SH, advokat dari LexRegis-Agustinus Dawarja & Partners, menjelaskan sejarah kepemilikan tanah tersebut.
Tanah seluas kurang lebih 1.438 Ha awalnya dikuasai Amsterdam Soenda Compagni (surat Keputusan Residence Timor en Onder Hoorigheden, 11 September 1912, No. 264). Pada 1926, tanah tersebut dibeli oleh Vikariat Apostolik Van De Klanis Soenda Elianden.
Sejumlah lahan kemudian dilepaskan kepada Pemerintah Swapradja Sikka pada 1956 (783 Ha) dan Pemda Sikka pada awal 1993 (29 Ha) untuk pengungsi korban gempa dan tsunami.
Setelah berlakunya UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan Keppres No. 32 Tahun 1979, Keuskupan Agung Ende (dulu VAE) mengajukan HGU dan membentuk PT. DIAG (Dioses Agung Ende) untuk mengelola tanah tersebut. PT. DIAG mendapatkan HGU pada 5 Januari 1989 (No. 4/HGU/89) dengan jangka waktu 25 tahun, yang dapat diperpanjang. Sebelum HGU berakhir, PT Krisrama (pengganti PT DIAG) mengajukan perpanjangan dan mengembalikan hampir 500 Ha kepada negara.
Tim Terpadu Penyelesaian Tanah Eks HGU Nangahale pada 8 Juni 2021 menetapkan bahwa tanah Nangahale bukan tanah adat. Penertiban lahan yang dilakukan PT Krisrama, menurut Tim Advokasi, hanya menyasar puluhan pondok darurat dan satu rumah semi permanen milik aktivis LSM AMAN, bukan rumah warga.
Tim Advokasi menekankan bahwa PT Krisrama memiliki legal standing yang kuat dan aktif mengelola lahan tersebut. Mereka membantah tudingan pelanggaran HAM, menyebutnya sebagai penyerobotan lahan. Mereka juga menyoroti peran aktivis LSM yang diduga menghasut warga dan memberikan informasi palsu kepada Kementerian HAM.
Marsel Ado Wawo meminta percepatan redistribusi 500 Ha lahan yang telah diserahkan kepada pemerintah dan penegakan hukum terhadap para penyerobot.
Ia juga meminta perlindungan hukum bagi Keuskupan Maumere agar tidak dituduh sebagai oligarki yang melanggar HAM.
Wakil Menteri HAM, Mugiyanto Sipin, menyatakan harapan agar kasus ini segera selesai dengan mengedepankan HAM secara adil dan benar. Kementerian HAM bersedia hadir di Nangahale untuk memfasilitasi penyelesaian.
Ia mengapresiasi informasi yang disampaikan Tim Advokasi FKKF. Petrus Selestinus menambahkan bahwa pengaduan yang mendiskreditkan Keuskupan Maumere tersebut diduga dilatarbelakangi kepentingan pribadi oknum aktivis.**